JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah menyesalkan meluasnya konflik kontroversi UU Kewarganegaraan (CAA) di India yang menyebabkan sedikitnya 38 korban jiwa dan lainnya luka-luka.
"Saya turut berduka atas kejadian ini," ujar Ketua Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas, Jumat (28/2/2020).
Robikin meyakini bahwa setiap agama memiliki nilai humanitarian dan membawa pesan perdamaian. "Oleh karena itu, kekerasan atas nama apapun tidak bisa dibenarkan, apalagi mengatasnamakan agama," katanya.
Dikatakan Robikin, pluralisme merupakan karunia Tuhan yang tak boleh dinodai sehingga persekusi atas nama mayoritarianisme juga tidak bisa dibenarkan.
"Sebagai warga masyarakat dunia, saya merasa perlu mengingatkan ajaran dan semangat perjuangan tokoh kemerdekaan India, Mahatma Gandhi, yang anti kekerasan. Suatu gerakan yang sepatutnya menjadi teladan," urainya.
Senada dengan Robikin, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti sangat prihatin atas diskriminasi dan terjadinya tindakan kekerasan terhadap muslim di India. Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan hak azasi manusia.
"Muhammadiyah mendesak Pemerintah India menghentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap semua warga negara, khususnya mereka yang beragama Islam," katanya.
Mu'ti mengatakan, Pemerintah Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB hendaknya mengangkat masalah di India dalam sidang khusus dan mendesak anggota PBB agar menyampaikan pernyataan keras terhadap diskriminasi dan keamanan di India.
"Apa yang terjadi di India berpotensi mengancam perdamaian di kawasan Asia Selatan dan dunia," katanya.
Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Yayan Sopyani Al Hadi juga mengecam aksi kekerasan dan pembakaran masjid di India. Aksi mematikan terhadap umat Islam di India ini harus segera dihentikan.
"Aksi kekerasan yang berbasis dan bermula dari ideologi, doktrin dan nilai-nilai rasisme tak boleh ada lagi di belahan dunia manapun," kata Yayan.
Tindak kekerasan ini bermula dari Undang-Undang Kewarganegaraan India. Kelompok muslim menolak UU kontroversial ini karena dinilai diskriminatif dan rasis.
Namun demonstrasi menentang UU ini berujung pada tindak kekerasan kepada umat Islam di India. Umat Islam meninggalkan rumah dan masjid di rusak.
Yayan pun berharap pemerintah Indonesia bisa mengirim nota-protes ke India. Selain Indonesia merupakan negara sahabat, India pun pasti mau mendengar suara dari Indonesia.
"Indonesia dan India pernah bersama-sama Indonesia dalam menginisiasi Konferensi Asia Afrika (KAA) dan juga melawan imperialisme. Dalam imperialisme senantiasa ada benih rasisme, selain karena motif politik-ekonomi," ungkap Yayan.
Menurutnya, semangat anti-rasisme sejatinya mengakar dalam hati orang-orang India. Sebab pengalaman pahit India dalam hal ini sudah cukup paniang.
"Karena itu pula, deklarasi KAA, yang di dalamnya ada India, berisi pengakuan atas hak-hak dasar manusia dan pengakuan yang sama pada setiap suku bangsa," ungkap Yayan. (Baca juga: Korban Tewas Konflik Hindu-Muslim India Bertambah Jadi 38 Orang)
Bercermin dari kasus India, Yayan pun mengajak warga Indonesia komitmen dan konsisten dalam menjalankan dan mengamalkan Pancasila yang digali Bung Karno dari nilai-nilai bangsa itu sendiri. Sebab Pancasila merupakan dasar dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang mempersatukan semua elemen, baik suku, agama, bahasa dan ras yang ada di Indonesia.
"Kita harus bersyukur punya Pancasila. Mari jalankan sungguh-sungguh. Bangsa lain kagum pada kita karena memiliki Pancasila," ungkap Yayan.
Dalam Pancasila, sambung Yayan, Bung Karno menjelaskan semua orang Indonesia tak boleh tak beragama. Namun keberagamaan Indonesia harus berbasis para ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban, yaitu Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur dan yang hormat-menghormati satu sama lain.
"Dalam Pancasila, segenap pemeluk agama mendapat tempat yang sama dan tempat yang sebaik-baiknya. Tanpa ada diskriminasi atas nama apapun. Mari jalankan Pancasila bersama-sama secara istiqomah," tutur Yayan. nasional.sindonews.com
"Saya turut berduka atas kejadian ini," ujar Ketua Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas, Jumat (28/2/2020).
Robikin meyakini bahwa setiap agama memiliki nilai humanitarian dan membawa pesan perdamaian. "Oleh karena itu, kekerasan atas nama apapun tidak bisa dibenarkan, apalagi mengatasnamakan agama," katanya.
Dikatakan Robikin, pluralisme merupakan karunia Tuhan yang tak boleh dinodai sehingga persekusi atas nama mayoritarianisme juga tidak bisa dibenarkan.
"Sebagai warga masyarakat dunia, saya merasa perlu mengingatkan ajaran dan semangat perjuangan tokoh kemerdekaan India, Mahatma Gandhi, yang anti kekerasan. Suatu gerakan yang sepatutnya menjadi teladan," urainya.
Senada dengan Robikin, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti sangat prihatin atas diskriminasi dan terjadinya tindakan kekerasan terhadap muslim di India. Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan hak azasi manusia.
"Muhammadiyah mendesak Pemerintah India menghentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap semua warga negara, khususnya mereka yang beragama Islam," katanya.
Mu'ti mengatakan, Pemerintah Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB hendaknya mengangkat masalah di India dalam sidang khusus dan mendesak anggota PBB agar menyampaikan pernyataan keras terhadap diskriminasi dan keamanan di India.
"Apa yang terjadi di India berpotensi mengancam perdamaian di kawasan Asia Selatan dan dunia," katanya.
Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Yayan Sopyani Al Hadi juga mengecam aksi kekerasan dan pembakaran masjid di India. Aksi mematikan terhadap umat Islam di India ini harus segera dihentikan.
"Aksi kekerasan yang berbasis dan bermula dari ideologi, doktrin dan nilai-nilai rasisme tak boleh ada lagi di belahan dunia manapun," kata Yayan.
Tindak kekerasan ini bermula dari Undang-Undang Kewarganegaraan India. Kelompok muslim menolak UU kontroversial ini karena dinilai diskriminatif dan rasis.
Namun demonstrasi menentang UU ini berujung pada tindak kekerasan kepada umat Islam di India. Umat Islam meninggalkan rumah dan masjid di rusak.
Yayan pun berharap pemerintah Indonesia bisa mengirim nota-protes ke India. Selain Indonesia merupakan negara sahabat, India pun pasti mau mendengar suara dari Indonesia.
"Indonesia dan India pernah bersama-sama Indonesia dalam menginisiasi Konferensi Asia Afrika (KAA) dan juga melawan imperialisme. Dalam imperialisme senantiasa ada benih rasisme, selain karena motif politik-ekonomi," ungkap Yayan.
Menurutnya, semangat anti-rasisme sejatinya mengakar dalam hati orang-orang India. Sebab pengalaman pahit India dalam hal ini sudah cukup paniang.
"Karena itu pula, deklarasi KAA, yang di dalamnya ada India, berisi pengakuan atas hak-hak dasar manusia dan pengakuan yang sama pada setiap suku bangsa," ungkap Yayan. (Baca juga: Korban Tewas Konflik Hindu-Muslim India Bertambah Jadi 38 Orang)
Bercermin dari kasus India, Yayan pun mengajak warga Indonesia komitmen dan konsisten dalam menjalankan dan mengamalkan Pancasila yang digali Bung Karno dari nilai-nilai bangsa itu sendiri. Sebab Pancasila merupakan dasar dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang mempersatukan semua elemen, baik suku, agama, bahasa dan ras yang ada di Indonesia.
"Kita harus bersyukur punya Pancasila. Mari jalankan sungguh-sungguh. Bangsa lain kagum pada kita karena memiliki Pancasila," ungkap Yayan.
Dalam Pancasila, sambung Yayan, Bung Karno menjelaskan semua orang Indonesia tak boleh tak beragama. Namun keberagamaan Indonesia harus berbasis para ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban, yaitu Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur dan yang hormat-menghormati satu sama lain.
"Dalam Pancasila, segenap pemeluk agama mendapat tempat yang sama dan tempat yang sebaik-baiknya. Tanpa ada diskriminasi atas nama apapun. Mari jalankan Pancasila bersama-sama secara istiqomah," tutur Yayan. nasional.sindonews.com