Viral video yang menimpa tiga jenasah Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang berkerja di kapal China menyisakan tanda tanya besar. Siapa sangka para ABK yang malang tersebut rata-rata masih berusia muda dan tentu saja tak bisa meraih cita-cita yang mereka impikan.
Adapun nama-nama ABK asal Indonesia yang berkerja di Kapal Longxing 629 China yang jasadnya dibuang ke tengah laut terdiri dari tiga orang.
Yang Pertama bernama Muhammad Alfatah (19) asal Enrekang, Sulawesi Selatan.
Al Fattah meninggal dunia September 2019 karena sakit.
Kemudian, Sefri (24) asal Palembang yang juga sakit dengan penyebab yang sama.
Terakhir, Ari yang meninggal dunia Februari 2020.
Ketiga jenazah ini kemudian dibuang ke laut.
Padahal menurut perjanjian kontrak kerja, jika ABK ini sakit atau wafat akan dihantarkan ke tempat/daratan terdekat.
Dari kelompok 18 orang ABK ini, tiga di atas meninggal dunia di atas Kapal, satu ABK lainnya yakni bernama Effendi Pasaribu.
Effendi Pasaribu kabarnya sempat dilarikan ke rumah sakit di Korea Selatan namun nyawanya tidak dapat tertolong.
Menurut hasil laporan forensik dokter setempat, penyebab Effendi meninggal dunia karena pneumonia atau radang paru-paru.
Keluarga Al Fattah Tak Terima
Dilansir dari kompas.com pada Rabu (22/1/2020), seorang Anak Buah Kapal (ABK) asal Enrekang, Sulawesi Selatan, Muhammad Alfatah meninggal di kapal dan jasadnya dibuang ke laut pada 27 Desember 2019.
Muhammad Alfatah dikabarkan meninggal dunia di atas kapal karena sakit.
Kabar kematian Alfatah baru diketahui oleh keluarga setelah viral di media sosial.
Rasyid, kakak kandung Alfatah, melihat sebuah foto yang sangat mirip dengan adiknya.
Ia juga membaca keterangan ABK dibuang ke tengah laut.
Tak lama kemudian, ia menerima sebuah surat yang menyebut bahwa adiknya telah tiada.
"Pas viral bersamaan itu ada surat datang," ujarnya.
Dalam surat yang diterima keluarga, jenazah Alfatah dilarungkan ke laut untuk kepentingan kesehatan.
Sebab kapten kapal khawatir, jika jenazah masih di atas kapal akan menimbulkan berbagai penyakit menular yang bisa menyerang kru lain.
Hanya saja, sebenarnya keluarga sangat berharap jenazah Alfatah dibawa ke kampung halamannya.
"Kami sangat ingin melihat jenazahnya, tapi mungkin itu sudah hal yang mustahil," ungkap Rasyid, seperti dikutip dari Tribun Timur pada Senin (20/1/2020).
Jawaban Rasyid cukup masuk akal. Sebab, ketika jenazah dilarungkan ke laut, jenazah bisa terurai.
Dilansir dari Science Focus, lama waktu jenazah terurai tidak menentu.
Tapi lingkungan dan suhu berpengaruh dalam proses pengurairan.
Jika suhunya dingin, maka pertumbuhan bakteri pengurai akan bekerja lebih lambat dibandingkan pada suhu yang hangat.
Selain itu, ketika air suhu dingin, bakteri bisa membuat tubuh menggembung karena gas di dalam tubuh akan bekerja sangat lambat.
Jika tubuh menggembung, maka berat akan bertambah.
Inilah yang membuat tubuh akan terus-menerus tenggelam ke dasar laut.
Lalu kulit tubuh juga akan menyerap air laut dan membuat jaringan di bawahnya mengelupas.
Waktunya sekitar beberapa minggu.
Nantinya, hewan di laut seperti ikan, akan memakan daging dari tubuh tersebut.
Idealnya, di perairan tropis seperti di Indonesia, suhunya lebih hangat.
Oleh karenanya, jenazah bisa mengapung setelah tiga sampai empat hari setelah dilarung ke laut.
Nantinya proses penguraian hingga tenggelam ke dasar laut mencapai waktu satu hingga dua minggu.
Untuk tulang, butuh waktu berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun untuk mengurainya.
14 ABK yang Lain Saat Ini Berada di Busan
Perihal empat dari 18 Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di Kapal Longxing 629 China meninggal dunia dan tiga jasad di antaranya terpaksa dibuang ke laut lepas, dibenarkan oleh Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan Ari Purboyo.
Ari Purboyo mengungkapkan bahwa mereka meninggal dunia dalam kondisi tubuh yang bengkak.
Menurut Ari Purboyo, bisa jadi ada banyak faktor yang mengindikasikan sebab keempat WNI tersebut meninggal dunia dengan kondisi tubuh bengkak.
Bisa jadi mengalami kekerasan, atau tambah Ari Purboyo, bisa jadi hal ini bukan jadi unsur utama dari penyebab empat ABK Indonesia tadi meninggal dunia.
.
Dilansir dari suara.com, faktor lainnya juga bisa dari makanan atau minuman yang ABK tersebut konsumsi setiap harinya. Ari menyebutkan, jika ABK asal Indonesia mendapatkan perlakukan berbeda untuk makanan dan minuman dengan ABK asal China.
"Itu minum mungkin bisa dilihat dari peristiwanya kan badannya membengkak ya. Itu kemungkinan besar mereka meminum air laut yang disuling," ungkapnya.
Lantas bagaimana para ABK asal Indonesia yang tersisa bisa sampai ke Korea Selatan?
Ari menjelaskan, ABK dengan total 18 orang itu berangkat dari Indonesia menuju Korea Selatan lalu dijemput dengan kapal tersebut setahun lalu. Ia menyebut, ada tiga perusahaan yang bertanggung jawab atas keberangkatan ABK tersebut yakni PT Lakemba Perkasa Bahari, PT Alfira Perdana Jaya (APJ) dan PT Karunia Bahari.
Selang setahun kemudian, 14 ABK yang masih bertahan pun akhirnya mendapatkan pertolongan oleh otoritas setempat dan kini tinggal di sebuah hotel di Busan, Korea Selatan. pekanbaru.tribunnews.com
Adapun nama-nama ABK asal Indonesia yang berkerja di Kapal Longxing 629 China yang jasadnya dibuang ke tengah laut terdiri dari tiga orang.
Yang Pertama bernama Muhammad Alfatah (19) asal Enrekang, Sulawesi Selatan.
Al Fattah meninggal dunia September 2019 karena sakit.
Kemudian, Sefri (24) asal Palembang yang juga sakit dengan penyebab yang sama.
Terakhir, Ari yang meninggal dunia Februari 2020.
Ketiga jenazah ini kemudian dibuang ke laut.
Padahal menurut perjanjian kontrak kerja, jika ABK ini sakit atau wafat akan dihantarkan ke tempat/daratan terdekat.
Dari kelompok 18 orang ABK ini, tiga di atas meninggal dunia di atas Kapal, satu ABK lainnya yakni bernama Effendi Pasaribu.
Effendi Pasaribu kabarnya sempat dilarikan ke rumah sakit di Korea Selatan namun nyawanya tidak dapat tertolong.
Menurut hasil laporan forensik dokter setempat, penyebab Effendi meninggal dunia karena pneumonia atau radang paru-paru.
Keluarga Al Fattah Tak Terima
Dilansir dari kompas.com pada Rabu (22/1/2020), seorang Anak Buah Kapal (ABK) asal Enrekang, Sulawesi Selatan, Muhammad Alfatah meninggal di kapal dan jasadnya dibuang ke laut pada 27 Desember 2019.
Muhammad Alfatah dikabarkan meninggal dunia di atas kapal karena sakit.
Kabar kematian Alfatah baru diketahui oleh keluarga setelah viral di media sosial.
Rasyid, kakak kandung Alfatah, melihat sebuah foto yang sangat mirip dengan adiknya.
Ia juga membaca keterangan ABK dibuang ke tengah laut.
Tak lama kemudian, ia menerima sebuah surat yang menyebut bahwa adiknya telah tiada.
"Pas viral bersamaan itu ada surat datang," ujarnya.
Dalam surat yang diterima keluarga, jenazah Alfatah dilarungkan ke laut untuk kepentingan kesehatan.
Sebab kapten kapal khawatir, jika jenazah masih di atas kapal akan menimbulkan berbagai penyakit menular yang bisa menyerang kru lain.
Hanya saja, sebenarnya keluarga sangat berharap jenazah Alfatah dibawa ke kampung halamannya.
"Kami sangat ingin melihat jenazahnya, tapi mungkin itu sudah hal yang mustahil," ungkap Rasyid, seperti dikutip dari Tribun Timur pada Senin (20/1/2020).
Jawaban Rasyid cukup masuk akal. Sebab, ketika jenazah dilarungkan ke laut, jenazah bisa terurai.
Dilansir dari Science Focus, lama waktu jenazah terurai tidak menentu.
Tapi lingkungan dan suhu berpengaruh dalam proses pengurairan.
Jika suhunya dingin, maka pertumbuhan bakteri pengurai akan bekerja lebih lambat dibandingkan pada suhu yang hangat.
Selain itu, ketika air suhu dingin, bakteri bisa membuat tubuh menggembung karena gas di dalam tubuh akan bekerja sangat lambat.
Jika tubuh menggembung, maka berat akan bertambah.
Inilah yang membuat tubuh akan terus-menerus tenggelam ke dasar laut.
Lalu kulit tubuh juga akan menyerap air laut dan membuat jaringan di bawahnya mengelupas.
Waktunya sekitar beberapa minggu.
Nantinya, hewan di laut seperti ikan, akan memakan daging dari tubuh tersebut.
Idealnya, di perairan tropis seperti di Indonesia, suhunya lebih hangat.
Oleh karenanya, jenazah bisa mengapung setelah tiga sampai empat hari setelah dilarung ke laut.
Nantinya proses penguraian hingga tenggelam ke dasar laut mencapai waktu satu hingga dua minggu.
Untuk tulang, butuh waktu berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun untuk mengurainya.
14 ABK yang Lain Saat Ini Berada di Busan
Perihal empat dari 18 Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di Kapal Longxing 629 China meninggal dunia dan tiga jasad di antaranya terpaksa dibuang ke laut lepas, dibenarkan oleh Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan Ari Purboyo.
Ari Purboyo mengungkapkan bahwa mereka meninggal dunia dalam kondisi tubuh yang bengkak.
Menurut Ari Purboyo, bisa jadi ada banyak faktor yang mengindikasikan sebab keempat WNI tersebut meninggal dunia dengan kondisi tubuh bengkak.
Bisa jadi mengalami kekerasan, atau tambah Ari Purboyo, bisa jadi hal ini bukan jadi unsur utama dari penyebab empat ABK Indonesia tadi meninggal dunia.
.
Dilansir dari suara.com, faktor lainnya juga bisa dari makanan atau minuman yang ABK tersebut konsumsi setiap harinya. Ari menyebutkan, jika ABK asal Indonesia mendapatkan perlakukan berbeda untuk makanan dan minuman dengan ABK asal China.
"Itu minum mungkin bisa dilihat dari peristiwanya kan badannya membengkak ya. Itu kemungkinan besar mereka meminum air laut yang disuling," ungkapnya.
Lantas bagaimana para ABK asal Indonesia yang tersisa bisa sampai ke Korea Selatan?
Ari menjelaskan, ABK dengan total 18 orang itu berangkat dari Indonesia menuju Korea Selatan lalu dijemput dengan kapal tersebut setahun lalu. Ia menyebut, ada tiga perusahaan yang bertanggung jawab atas keberangkatan ABK tersebut yakni PT Lakemba Perkasa Bahari, PT Alfira Perdana Jaya (APJ) dan PT Karunia Bahari.
Selang setahun kemudian, 14 ABK yang masih bertahan pun akhirnya mendapatkan pertolongan oleh otoritas setempat dan kini tinggal di sebuah hotel di Busan, Korea Selatan. pekanbaru.tribunnews.com