Upaya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mempermalukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui pengungkapan sederet anggaran aneh dalam APBD DKI 2020 ternyata gagal total.
Ibaratnya, PSI menampar mukanya sendiri. Karena punggawa-punggawa Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta kebanyakan merupakan tim Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ikut dalam pembuatan sistem komputerisasi terintegrasi e-budgeting dan e-katalog.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian for Transparency and Akuntabillity (Infra) Agus Chairudin melalui keterangan tertulisnya, Kamis (31/10).
"Pembuatan sistem komputerisasi terintegrasi e-budgeting dan e-katalog digawangi Tim Ahok yang berada diluar struktur Pemprov DKI," kata Agus.
Menurut Agus, kelemahan-kelemahan sistem e-Katalog inilah yang menjadikan berulangnya kisruh Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) dan RAPBD.
Kata Agus, apabila PSI benar komitmen melakukan transparansi dan akuntabilitas publik berdasarkan peraturan hukum, maka mereka harus memahami sistematika penyusunan KUA-PPAS dan RAPBD terlebih dahulu.
"PSI jangan asal bunyi," tegas Agus.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membeberkan kelemahan sistem pengadaan elektronik atau e-budgeting yang diterapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2015.
Menurut Anies, sistem e-budgeting, memiliki kelemahan teknis di mana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI mau tak mau harus mengisi semua komponen penganggaran secara spesifik sekalipun belum ada pembahasan dengan DPRD.
"Kegiatan sudah ditentukan, misalnya pameran atau pentas musik. Itu ada rekening dan komponen. Misalnya, nilainya Rp100 juta. Rp100 juta itu harus ada turunan komponen. Padahal yang dibutuhkan hanya kegiatannya dahulu karena (ajuan anggaran) akan dibahas dengan Dewan," ujar Anies di Balai Kota DKI, Rabu (30/10).
Anies menyampaikan, keterbatasan teknis itu mau tak mau harus membuat SKPD DKI mengisi anggaran secara detil meski tak betul-betul memiliki maksud mengusulkannya di APBD. Anies menengarai, keterbatasan teknis ini merupakan sebab munculnya banyak ajuan anggaran janggal untuk APBD 2020 seperti lem Aibon Rp82 miliar.
"Setiap tahun, staf itu banyak yang memasukkan, (misalnya) 'yang penting, masuk angka (ajuan anggaran) Rp100 juta dulu. Toh nanti yang penting dibahas," ujar Anies.
Anies juga mengemukakan, ketiadaan fitur verifikasi secara otomatis memperbesar peluang anggaran yang belum dicek ulang malah benar-benar dianggarkan di APBD. Kesalahan manusia, seperti teledor, atau tidak konsentrasi saat menginput anggaran, bisa berdampak besar kepada ditetapkannya anggaran yang salah di APBD.
"Dokumen yang ada harus dicek manual, apakah (penganggaran) panggung, mic. Terlalu detail di level itu ada beberapa yang mengerjakan dengan teledor. Cara-cara seperti ini berlangsung setiap tahun. Makanya setiap tahun muncul angka aneh-aneh. Kalau sistemnya smart, maka dia seharusnya akan melakukan verifikasi," ujar Anies.
Anies menyalahkan e-budgeting, atas masuknya ajuan janggal ke usulan APBD DKI 2020. Menurut Anies, karena e-budgeting tidak sempurna, ajuan janggal seperti pengadaan lem Aibon hingga Rp82 miliar, bisa diusulkan ke APBD.
"Ini ada problem sistem, yaitu sistem digital (e-budgeting) tapi tidak smart," ujar Anies.
Diketahui, PSI menemukan banyak kejanggalan pada APBD DKI 2020. Heboh soal anggaran pembelian Lem Aibon sebesar Rp 82 miliar hanya satu diantara kejanggalan tersebut.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, William Aditya Sarana, meminta menyatakan menemukan banyak anggaran janggal dalam APBD DKI Jakarta 2020. Misalnya anggaran pembelian pulpen sebesar Rp 124 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur.
Selain itu ada juga pembelian 7313 unit komputer dan beberapa unit server senilai Rp 121 miliar. PSI juga menemukan anggaran sebesar Rp 66 miliar untuk alat penyimpanan data (storage) di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik. rmoljakarta.com
Ibaratnya, PSI menampar mukanya sendiri. Karena punggawa-punggawa Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta kebanyakan merupakan tim Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ikut dalam pembuatan sistem komputerisasi terintegrasi e-budgeting dan e-katalog.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian for Transparency and Akuntabillity (Infra) Agus Chairudin melalui keterangan tertulisnya, Kamis (31/10).
"Pembuatan sistem komputerisasi terintegrasi e-budgeting dan e-katalog digawangi Tim Ahok yang berada diluar struktur Pemprov DKI," kata Agus.
Menurut Agus, kelemahan-kelemahan sistem e-Katalog inilah yang menjadikan berulangnya kisruh Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) dan RAPBD.
Kata Agus, apabila PSI benar komitmen melakukan transparansi dan akuntabilitas publik berdasarkan peraturan hukum, maka mereka harus memahami sistematika penyusunan KUA-PPAS dan RAPBD terlebih dahulu.
"PSI jangan asal bunyi," tegas Agus.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membeberkan kelemahan sistem pengadaan elektronik atau e-budgeting yang diterapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2015.
Menurut Anies, sistem e-budgeting, memiliki kelemahan teknis di mana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI mau tak mau harus mengisi semua komponen penganggaran secara spesifik sekalipun belum ada pembahasan dengan DPRD.
"Kegiatan sudah ditentukan, misalnya pameran atau pentas musik. Itu ada rekening dan komponen. Misalnya, nilainya Rp100 juta. Rp100 juta itu harus ada turunan komponen. Padahal yang dibutuhkan hanya kegiatannya dahulu karena (ajuan anggaran) akan dibahas dengan Dewan," ujar Anies di Balai Kota DKI, Rabu (30/10).
Anies menyampaikan, keterbatasan teknis itu mau tak mau harus membuat SKPD DKI mengisi anggaran secara detil meski tak betul-betul memiliki maksud mengusulkannya di APBD. Anies menengarai, keterbatasan teknis ini merupakan sebab munculnya banyak ajuan anggaran janggal untuk APBD 2020 seperti lem Aibon Rp82 miliar.
"Setiap tahun, staf itu banyak yang memasukkan, (misalnya) 'yang penting, masuk angka (ajuan anggaran) Rp100 juta dulu. Toh nanti yang penting dibahas," ujar Anies.
Anies juga mengemukakan, ketiadaan fitur verifikasi secara otomatis memperbesar peluang anggaran yang belum dicek ulang malah benar-benar dianggarkan di APBD. Kesalahan manusia, seperti teledor, atau tidak konsentrasi saat menginput anggaran, bisa berdampak besar kepada ditetapkannya anggaran yang salah di APBD.
"Dokumen yang ada harus dicek manual, apakah (penganggaran) panggung, mic. Terlalu detail di level itu ada beberapa yang mengerjakan dengan teledor. Cara-cara seperti ini berlangsung setiap tahun. Makanya setiap tahun muncul angka aneh-aneh. Kalau sistemnya smart, maka dia seharusnya akan melakukan verifikasi," ujar Anies.
Anies menyalahkan e-budgeting, atas masuknya ajuan janggal ke usulan APBD DKI 2020. Menurut Anies, karena e-budgeting tidak sempurna, ajuan janggal seperti pengadaan lem Aibon hingga Rp82 miliar, bisa diusulkan ke APBD.
"Ini ada problem sistem, yaitu sistem digital (e-budgeting) tapi tidak smart," ujar Anies.
Diketahui, PSI menemukan banyak kejanggalan pada APBD DKI 2020. Heboh soal anggaran pembelian Lem Aibon sebesar Rp 82 miliar hanya satu diantara kejanggalan tersebut.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, William Aditya Sarana, meminta menyatakan menemukan banyak anggaran janggal dalam APBD DKI Jakarta 2020. Misalnya anggaran pembelian pulpen sebesar Rp 124 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur.
Selain itu ada juga pembelian 7313 unit komputer dan beberapa unit server senilai Rp 121 miliar. PSI juga menemukan anggaran sebesar Rp 66 miliar untuk alat penyimpanan data (storage) di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik. rmoljakarta.com