Rencana pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) bagi penunggak iuran BPJS Kesehatan agar tidak bisa mengakses pelayanan publik seperti SIM, Paspor, dan layanan administratif, dianggap menimbulkan kontra di masyarakat.
Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean menilai, tidak selayaknya membuat aturan seperti itu. Pemerintah harusnya melihat lebih dalam alasan rakyat kesulitan membayar iuran BPJS.
"Aturan yang digodok oleh pemerintah yang penuh ancaman ini kepada masyarakat warga negaranya sangat tidak patut. Apakah ekonomi rakyat memang sulit dan susah atau rakyat yang enggan dan pura-pura tidak mau membayar? Ini yang harusnya dilihat secara seksama," tegas Ferdinand dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (9/10).
"Tidak elok juga jika memang karena kesulitan ekonomi, lantas masyarakat diancam dengan sanksi yang bisa menghapus hak-hak warga negara yang diatur oleh konstitusi," sambungnya.
Pada dasarnya, dirinya mendukung aturan yang kuat dan tegas. Tapi aturan ini seharusnya berlaku kepada pihak-pihak yang ditujukan kepada pihak yang mampu bayar tapi malas membayar.
"Karena peserta BPJS sekarang bukan hanya orang tak mampu, tapi orang mampu juga banyak gunakan BPJS. Maka perlu diteliti secara seksama siapa yang nunggak dan apa alasannya menunggak," jelasnya.
Penagihan iuran BPJS secara paksa dengan ancaman keras seperti itu bukanlah satu-satunya jalan. Ia menyarankan pemerintah bisa mengalokasikan APBN setiap tahunnya sebagai bantuan talangan setidaknya Rp 50 triliun dari APBN.
"Toh ini untuk rakyat, dari uang rakyat. Ini bisa dilakukan dengan menghapus beberapa program yang tidak terlalu penting," pungkasnya. rmoljatim.com
Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean menilai, tidak selayaknya membuat aturan seperti itu. Pemerintah harusnya melihat lebih dalam alasan rakyat kesulitan membayar iuran BPJS.
"Aturan yang digodok oleh pemerintah yang penuh ancaman ini kepada masyarakat warga negaranya sangat tidak patut. Apakah ekonomi rakyat memang sulit dan susah atau rakyat yang enggan dan pura-pura tidak mau membayar? Ini yang harusnya dilihat secara seksama," tegas Ferdinand dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (9/10).
"Tidak elok juga jika memang karena kesulitan ekonomi, lantas masyarakat diancam dengan sanksi yang bisa menghapus hak-hak warga negara yang diatur oleh konstitusi," sambungnya.
Pada dasarnya, dirinya mendukung aturan yang kuat dan tegas. Tapi aturan ini seharusnya berlaku kepada pihak-pihak yang ditujukan kepada pihak yang mampu bayar tapi malas membayar.
"Karena peserta BPJS sekarang bukan hanya orang tak mampu, tapi orang mampu juga banyak gunakan BPJS. Maka perlu diteliti secara seksama siapa yang nunggak dan apa alasannya menunggak," jelasnya.
Penagihan iuran BPJS secara paksa dengan ancaman keras seperti itu bukanlah satu-satunya jalan. Ia menyarankan pemerintah bisa mengalokasikan APBN setiap tahunnya sebagai bantuan talangan setidaknya Rp 50 triliun dari APBN.
"Toh ini untuk rakyat, dari uang rakyat. Ini bisa dilakukan dengan menghapus beberapa program yang tidak terlalu penting," pungkasnya. rmoljatim.com