oleh Retno Wulandari, Rizky Suryarandika, Flori Sidebang, Antara
Aktivis HAM dan pendiri WatchdoC Documentary, Dandhy Dwi Laksono, ditangkap polisi pada Kamis (26/9) dini hari WIB. Kabar penangkapan Dandhy pertama kali diungkap oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) lewat akun Twitter mereka.
"Breaking News @Dandhy_Laksono Ditangkap Polda Metro Jaya, Kamis 26 September 2019 Pukul 23.00," tulis akun @YLBHI.
YLBHI merinci kronologi penangkapan Dandhy dimulai pada pukul 22.45 di rumahnya. Saat itu, tamu dari kepolisian datang dengan membawa surat penangkapan.
Berdasarkan surat penangkapan tersebut, Dandhy dituding telah melakukan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian, dan perumusuhan berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Kemudian, pada pukul 23.05, tim yang terdiri dari empat personil polisi pun membawa Dandhy ke kantor Polda Metro Jaya.
Berdasarkan laporan tersebut, Dandhy pun terancam dijerat pasal berlapis. Sejumlah pasal tersebut yaitu Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, aktivis Dandhy sempat ditangkap Polda Metro Jaya untuk dimintai ketetangan. Namun, kemudian Dandhy dilepas tetapi status sebagai tersangka tidak dicabut.
"Benar tapi sudah dilepas. Meski tetap berstatus tersangka," kata Asfinawati saat dikonfirmasi dari Jakarta, Jumat (27/9).
Pengacara Dandhy Laksono, Algiffari Aksa meminta status hukum terhadap kliennya segera dicabut oleh Polda Metro Jaya. Ia merasa kasus yang ditimpakan pada kliennya tak punya dasar hukum yang jelas.
"Adapun twit yang dipermasalahkan adalah twit tentang Papua tanggal 23 September, mungkin teman-teman bisa melihat peristiwa di Papua dan Wamena dan pasal yg dikenakan terhadap Dandhy adalah pasal ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan SARA sesuai dengan Pasal 45 A ayat 2 jo 28 ayat 2 UU ITE," kata Aqsa di Mapolda Metro Jaya, Jumat (27/9).
Algiffari mengapresiasi langkah Polda Metro Jaya yang sudah memulangkan Dandhy. Meski begitu, ia menyayangkan ternyata status tersangka masih melekat pada kliennya.
"Dandhy sudah diperbolehkan pulang. Statusnya tersangka," katanya pada Republika, Jumat (27/9).
Beberapa jam setelah peristiwa penjemputan Dandhy, giliran mantan wartawan Tempo yang juga seorang musisi, Ananda Badudu mengunggah cicitan di akun Twitter-nya yang menginformasikan dirinya telah 'dijemput' oleh Polda Metro Jaya pada Jumat (27/9) pagi. Cicitan itu diunggah sekitar dua jam dari pukul 07.27 WIB.
"Saya dijemput Polda karena mentransfer sejumlah dana pada mahasiswa".
Masih di jam yang sama Twitter Ananda mengunggah sebuah gambar seseorang sedang memegang kertas kuning seperti laporan BAP yang ada di kepolisian. Kabar penjemputan Ananda tersiar ramai di sosial media maupun media arus utama.
Cicitam Ananda soal penjemputan dirinya mendapat banyak komentar dan retwit dari pengikut sosial medianya. Enam jam sebelumnya, Ananda juga sempat mencicit: "Stay safe dan jaga teman'.
Penangkapan Ananda terkait penghimpunan uang yang dilakukan Ananda melalui media sosial. Dana itu disalurkan untuk demostrasi mahasiswa pada Selasa (24/9) dan Rabu (25/9) di gedung DPR/MPR yang menolak RKUHP dan UU KPK hasil revisi.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (27/9) menjelaskan Ananda dimintai keterangan sebagai saksi. Argo menyebut, pemeriksaan itu dilakukan untuk mengklarifikasi dugaan Ananda mentransfer uang senilai Rp 10 juta kepada mahasiswa.
"Yang bersangkutan (Ananda Badudu) dimintai keterangan sebagai saksi akan adanya (dugaan) transfer Rp 10 juta, untuk klarifikasi saja," kata Argo.
Argo mengatakan, penyidik menjemput Ananda Badudu untuk diminta klarifikasi soal penggalangan dana melalui platform donasi "KitaBisa". Penggalangan dana itu dilakukan Ananda Badudu dari sumbangan masyarakat untuk logistik aksi massa di Gedung DPR/MPR RI pada Selasa (24/9).
Argo mengungkapkan, petugas mendatangi rumah Ananda Badudu, kemudian dijemput dan diajak komunikasi untuk dimintai keterangan. "Yang bersangkutan mau," ujar Argo.
Setelah menjalani pemeriksaan selama lima jam, Ananda dilepas oleh polisi. Ananda dilepaskan pada pukul 10.17 WIB didampingi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usmad Hamid.
Usman mengharapkan, kasus Ananda Badudu tidak diteruskan lebih lanjut oleh Polda Metro Jaya. "Yang pasti saat ini keterangan masih sebatas saksi dan kita minta tidak ada proses hukum lanjutan," kata Usman.
Usman juga mengatakan pihaknya akan membawa kasus ini ke jalur hukum jika Ananda ditetapkan sebagai tersangka. "Dalam kasus ini sejauh diterangkan pihak kepolisian statusnya saksi dan kami menolak kalau ditetapkan tersangka. Kami akan ambil upaya hukum kalau itu sampai terjadi," kata Hamid.
Pada Kamis (26/9) ada satu peristiwa masih terkait demo mahasiswa yang juga menyita perhatian publik. Peristiwa itu adalah diamankannya beberapa ambulans milik PMI dan Pemprov DKI Jakarta oleh Polda Metro Jaya.
Peristiwa ini menjadi heboh lantaran di media sosial sempat beredar unggahan video yang menyebutkan bahwa ambulans-ambulans itu berisi batu dan bensin yang digunakan oleh para pelaku kerusuhan di Jakarta.
Akun Twitter @TMCPoldaMetro pun sempat mengunggah video yang mengatakan telah mengamankan lima unit ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut pada pukul 02.16. Namun kemudian unggahan itu dihapus.
Polda Metro Jaya kemudian mengakui adanya kesalahan terkait dengan viralnya video ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PMI. "Jangan sampai diviralkan yang tidak pas, kita dipecah. Kita tetap satu, bergandengan tangan," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono di Jakarta, Kamis.
Argo mengakui, ada kesalahpahaman terkait video lima ambulans milik Pemprov DKI dan PMI yang dituduh anggota Brimob mengangkut logistik dan batu bagi perusuh di Pejompongan. Argo menjelaskan kejadian berawal saat video viral melalui situs TMCPoldametrojaya menggambarkan mobil untuk membantu orang sakit maupun luka ditemukan membawa batu dan bensin.
Saat itu, ada anggota Brimob yang bertugas mengamankan korban kericuhan dilempari batu oleh perusuh. Selanjutnya, perusuh itu membawa batu dan kembang api berlindung ke dalam mobil ambulans milik PMI dan Pemprov DKI.
"Jadi perusuh masuk ke mobil membawa dus berisi batu dan kembang api," ujar Argo.
Karena hal itu, menurut Argo, anggota Brimob beranggapan mobil ambulans itu digunakan untuk mengangkut perusuh. Argo menyatakan, Kepolisian dan Dinas Kesehatan DKI akan meningkatkan koordinasi serta komunikasi agar fungsi masing-masing tetap terlaksana dengan baik.
Pakar keamanan Siber, Pratama Persadha mengatakan viralnya video ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PMI yang semula diduga mengangkut batu dan perusuh oleh akun sosial media milik TMC Polda Metro Jaya bisa termasuk penyebaran hoaks. "Itu akun Polda termasuk penyebar hoaks sebenarnya," kata Pratama saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Menurut Pratama, pada prinsipnya semua pihak bisa menjadi penyebar atau memproduksi hoaks, baik sengaja maupun tidak disengaja. Kalau pun disengaja, lanjut dia, bisa terjadi karena ada penyediaan informasi yang kurang baik sehingga terjadi kesalahan informasi.
Ia mengatakan, seharusnya akun aparat kepolisian ikut menjadi akun media sosial yang mencerahkan, mengklarifikasi, bukan malah ikut memanaskan suasana. "Yang jadi pertanyaannya, lanjut dia, apakah sang admin ada di lokasi? Darimana konten ambulans ditangkap itu didapat, itu yang perlu ditelusuri," katanya.
Menurut dia, sebelum akun TMC mengunggah sudah ada akun buzzer yang mengunggah. Apabila, akun resmi tersebut mengambil konten dari akun buzzer, jelas hal tersebut sangat berbahaya.
Dengan adanya kejadian ini, Pratama menyarankan harusnya ada mekanisme konten yang diunggah harus melewati jalur jelas. Kalaupun informasi itu didapat dari sesama aparat kepolisian, bisa ditelusuri.
Terkait permintaan maaf Polda Metro Jaya atas kekeliruan unggahan tersebut, Pratama mengatakan maaf sangat diperlukan. Polisi juga harus menjelaskan kronologi mengapa hal itu bisa terjadi.
"Karena masyarakat harus dipuaskan rasa ingin tahunya," ujarnya.
Kejadian ini lanjut Pratama, menjadi pelajaran berharga bagi setiap admin akun media sosial. Selain mengamankan akunnya masing-masing, para admin harus bisa memilah konten mana yang layak dinaikkan.
"Situasi kemarin memang panas, namun admin sosmed mempunyai kewajiban mendinginkan suasan dengan beberapa cara," ujarnya.
Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat meminta kepolisian untuk mengusut tuntas kasus dugaan penyerangan terhadap mobil ambulans dan sejumlah petugas medis di lokasi aksi demonstrasi, Jakarta, Rabu (25/9). Hal ini disampaikan Pelaksana Harian Ketua Umum PMI Ginandjar Kartasasmita.
Ginandjar menegaskan, pihak PMI tidak menyuplai batu kepada pengunjuk rasa. Tuduhan tersebut pun sudah dibantah Polda Metro Jaya. Menurut dia, ada oknum demonstran yang menaruh kardus berisikan batu dan petasan di dalam ambulans saat kericuhan mendekati mobil petugas medis itu. Akibatnya, mobil milik PMI itu beserta petugas medisnya sempat digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
“Kalau orang yang bawa kardus sudah ditangkap, kita siap sebagai saksi. Ambulans PMI tidak buat sesuatu yang bertentangan dengan pemerintah,” ujar dia. republika.co.id
Aktivis HAM dan pendiri WatchdoC Documentary, Dandhy Dwi Laksono, ditangkap polisi pada Kamis (26/9) dini hari WIB. Kabar penangkapan Dandhy pertama kali diungkap oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) lewat akun Twitter mereka.
"Breaking News @Dandhy_Laksono Ditangkap Polda Metro Jaya, Kamis 26 September 2019 Pukul 23.00," tulis akun @YLBHI.
YLBHI merinci kronologi penangkapan Dandhy dimulai pada pukul 22.45 di rumahnya. Saat itu, tamu dari kepolisian datang dengan membawa surat penangkapan.
Berdasarkan surat penangkapan tersebut, Dandhy dituding telah melakukan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian, dan perumusuhan berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Kemudian, pada pukul 23.05, tim yang terdiri dari empat personil polisi pun membawa Dandhy ke kantor Polda Metro Jaya.
Berdasarkan laporan tersebut, Dandhy pun terancam dijerat pasal berlapis. Sejumlah pasal tersebut yaitu Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, aktivis Dandhy sempat ditangkap Polda Metro Jaya untuk dimintai ketetangan. Namun, kemudian Dandhy dilepas tetapi status sebagai tersangka tidak dicabut.
"Benar tapi sudah dilepas. Meski tetap berstatus tersangka," kata Asfinawati saat dikonfirmasi dari Jakarta, Jumat (27/9).
Pengacara Dandhy Laksono, Algiffari Aksa meminta status hukum terhadap kliennya segera dicabut oleh Polda Metro Jaya. Ia merasa kasus yang ditimpakan pada kliennya tak punya dasar hukum yang jelas.
"Adapun twit yang dipermasalahkan adalah twit tentang Papua tanggal 23 September, mungkin teman-teman bisa melihat peristiwa di Papua dan Wamena dan pasal yg dikenakan terhadap Dandhy adalah pasal ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan SARA sesuai dengan Pasal 45 A ayat 2 jo 28 ayat 2 UU ITE," kata Aqsa di Mapolda Metro Jaya, Jumat (27/9).
Algiffari mengapresiasi langkah Polda Metro Jaya yang sudah memulangkan Dandhy. Meski begitu, ia menyayangkan ternyata status tersangka masih melekat pada kliennya.
"Dandhy sudah diperbolehkan pulang. Statusnya tersangka," katanya pada Republika, Jumat (27/9).
Beberapa jam setelah peristiwa penjemputan Dandhy, giliran mantan wartawan Tempo yang juga seorang musisi, Ananda Badudu mengunggah cicitan di akun Twitter-nya yang menginformasikan dirinya telah 'dijemput' oleh Polda Metro Jaya pada Jumat (27/9) pagi. Cicitan itu diunggah sekitar dua jam dari pukul 07.27 WIB.
"Saya dijemput Polda karena mentransfer sejumlah dana pada mahasiswa".
Masih di jam yang sama Twitter Ananda mengunggah sebuah gambar seseorang sedang memegang kertas kuning seperti laporan BAP yang ada di kepolisian. Kabar penjemputan Ananda tersiar ramai di sosial media maupun media arus utama.
Cicitam Ananda soal penjemputan dirinya mendapat banyak komentar dan retwit dari pengikut sosial medianya. Enam jam sebelumnya, Ananda juga sempat mencicit: "Stay safe dan jaga teman'.
Penangkapan Ananda terkait penghimpunan uang yang dilakukan Ananda melalui media sosial. Dana itu disalurkan untuk demostrasi mahasiswa pada Selasa (24/9) dan Rabu (25/9) di gedung DPR/MPR yang menolak RKUHP dan UU KPK hasil revisi.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (27/9) menjelaskan Ananda dimintai keterangan sebagai saksi. Argo menyebut, pemeriksaan itu dilakukan untuk mengklarifikasi dugaan Ananda mentransfer uang senilai Rp 10 juta kepada mahasiswa.
"Yang bersangkutan (Ananda Badudu) dimintai keterangan sebagai saksi akan adanya (dugaan) transfer Rp 10 juta, untuk klarifikasi saja," kata Argo.
Argo mengatakan, penyidik menjemput Ananda Badudu untuk diminta klarifikasi soal penggalangan dana melalui platform donasi "KitaBisa". Penggalangan dana itu dilakukan Ananda Badudu dari sumbangan masyarakat untuk logistik aksi massa di Gedung DPR/MPR RI pada Selasa (24/9).
Argo mengungkapkan, petugas mendatangi rumah Ananda Badudu, kemudian dijemput dan diajak komunikasi untuk dimintai keterangan. "Yang bersangkutan mau," ujar Argo.
Setelah menjalani pemeriksaan selama lima jam, Ananda dilepas oleh polisi. Ananda dilepaskan pada pukul 10.17 WIB didampingi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usmad Hamid.
Usman mengharapkan, kasus Ananda Badudu tidak diteruskan lebih lanjut oleh Polda Metro Jaya. "Yang pasti saat ini keterangan masih sebatas saksi dan kita minta tidak ada proses hukum lanjutan," kata Usman.
Usman juga mengatakan pihaknya akan membawa kasus ini ke jalur hukum jika Ananda ditetapkan sebagai tersangka. "Dalam kasus ini sejauh diterangkan pihak kepolisian statusnya saksi dan kami menolak kalau ditetapkan tersangka. Kami akan ambil upaya hukum kalau itu sampai terjadi," kata Hamid.
Pada Kamis (26/9) ada satu peristiwa masih terkait demo mahasiswa yang juga menyita perhatian publik. Peristiwa itu adalah diamankannya beberapa ambulans milik PMI dan Pemprov DKI Jakarta oleh Polda Metro Jaya.
Peristiwa ini menjadi heboh lantaran di media sosial sempat beredar unggahan video yang menyebutkan bahwa ambulans-ambulans itu berisi batu dan bensin yang digunakan oleh para pelaku kerusuhan di Jakarta.
Akun Twitter @TMCPoldaMetro pun sempat mengunggah video yang mengatakan telah mengamankan lima unit ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut pada pukul 02.16. Namun kemudian unggahan itu dihapus.
Polda Metro Jaya kemudian mengakui adanya kesalahan terkait dengan viralnya video ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PMI. "Jangan sampai diviralkan yang tidak pas, kita dipecah. Kita tetap satu, bergandengan tangan," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono di Jakarta, Kamis.
Argo mengakui, ada kesalahpahaman terkait video lima ambulans milik Pemprov DKI dan PMI yang dituduh anggota Brimob mengangkut logistik dan batu bagi perusuh di Pejompongan. Argo menjelaskan kejadian berawal saat video viral melalui situs TMCPoldametrojaya menggambarkan mobil untuk membantu orang sakit maupun luka ditemukan membawa batu dan bensin.
Saat itu, ada anggota Brimob yang bertugas mengamankan korban kericuhan dilempari batu oleh perusuh. Selanjutnya, perusuh itu membawa batu dan kembang api berlindung ke dalam mobil ambulans milik PMI dan Pemprov DKI.
"Jadi perusuh masuk ke mobil membawa dus berisi batu dan kembang api," ujar Argo.
Karena hal itu, menurut Argo, anggota Brimob beranggapan mobil ambulans itu digunakan untuk mengangkut perusuh. Argo menyatakan, Kepolisian dan Dinas Kesehatan DKI akan meningkatkan koordinasi serta komunikasi agar fungsi masing-masing tetap terlaksana dengan baik.
Pakar keamanan Siber, Pratama Persadha mengatakan viralnya video ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PMI yang semula diduga mengangkut batu dan perusuh oleh akun sosial media milik TMC Polda Metro Jaya bisa termasuk penyebaran hoaks. "Itu akun Polda termasuk penyebar hoaks sebenarnya," kata Pratama saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Menurut Pratama, pada prinsipnya semua pihak bisa menjadi penyebar atau memproduksi hoaks, baik sengaja maupun tidak disengaja. Kalau pun disengaja, lanjut dia, bisa terjadi karena ada penyediaan informasi yang kurang baik sehingga terjadi kesalahan informasi.
Ia mengatakan, seharusnya akun aparat kepolisian ikut menjadi akun media sosial yang mencerahkan, mengklarifikasi, bukan malah ikut memanaskan suasana. "Yang jadi pertanyaannya, lanjut dia, apakah sang admin ada di lokasi? Darimana konten ambulans ditangkap itu didapat, itu yang perlu ditelusuri," katanya.
Menurut dia, sebelum akun TMC mengunggah sudah ada akun buzzer yang mengunggah. Apabila, akun resmi tersebut mengambil konten dari akun buzzer, jelas hal tersebut sangat berbahaya.
Dengan adanya kejadian ini, Pratama menyarankan harusnya ada mekanisme konten yang diunggah harus melewati jalur jelas. Kalaupun informasi itu didapat dari sesama aparat kepolisian, bisa ditelusuri.
Terkait permintaan maaf Polda Metro Jaya atas kekeliruan unggahan tersebut, Pratama mengatakan maaf sangat diperlukan. Polisi juga harus menjelaskan kronologi mengapa hal itu bisa terjadi.
"Karena masyarakat harus dipuaskan rasa ingin tahunya," ujarnya.
Kejadian ini lanjut Pratama, menjadi pelajaran berharga bagi setiap admin akun media sosial. Selain mengamankan akunnya masing-masing, para admin harus bisa memilah konten mana yang layak dinaikkan.
"Situasi kemarin memang panas, namun admin sosmed mempunyai kewajiban mendinginkan suasan dengan beberapa cara," ujarnya.
Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat meminta kepolisian untuk mengusut tuntas kasus dugaan penyerangan terhadap mobil ambulans dan sejumlah petugas medis di lokasi aksi demonstrasi, Jakarta, Rabu (25/9). Hal ini disampaikan Pelaksana Harian Ketua Umum PMI Ginandjar Kartasasmita.
Ginandjar menegaskan, pihak PMI tidak menyuplai batu kepada pengunjuk rasa. Tuduhan tersebut pun sudah dibantah Polda Metro Jaya. Menurut dia, ada oknum demonstran yang menaruh kardus berisikan batu dan petasan di dalam ambulans saat kericuhan mendekati mobil petugas medis itu. Akibatnya, mobil milik PMI itu beserta petugas medisnya sempat digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
“Kalau orang yang bawa kardus sudah ditangkap, kita siap sebagai saksi. Ambulans PMI tidak buat sesuatu yang bertentangan dengan pemerintah,” ujar dia. republika.co.id