Jurnalmuslim.com - Sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani yang belum mempelajari masterplan pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur mendapat sorotan publik.
Sikap Menkeu kontras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro yang sudah berani menyebut besaran anggaran pemindahan Ibukota.
Pengamat komunikasi politik Universitas Mercu Buana, Maksimus Ramses Lalongkoe melihat, perbedaan sikap ini menunjukkan ketidaksiapan eksekutif dalam mengemban megaproyek Ibukota.
"Harusnya mereka kompak kalau memang belum. Memindahkan Ibukota itu tidak mudah, harus dilakukan perencanaan yang matang," kata Maksimus Ramses kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (28/8).
Sikap menteri terbaik se-Asia Pasifik ini yang tak bisa menjelaskan pembiayaan pindah Ibukota di depan wakil rakyat juga menjadi catatan tersendiri bagi publik.
"Sebelum menyampaikan ke publik, harus sepakat dulu. Kalau presiden ngomong A, menterinya juga harus ngomong A. Jangan sampai rakyat bingung," tandasnya.
Pemindahan Ibukota Indonesia dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Pesisir Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara ditaksir menelan anggaran sebesar Rp 466 triliun. Jumlah makin menjadi perhatian lantaran pemerintah menyebut hanya akan menggunakan APBN 19 persen dari total biaya pemindahan.
Namun dalam rapat bersama DPR, Selasa kemarin (27/8), Menkeu menyebut belum mempelajari masterplan pemindahan Ibukota, artinya belum bisa memaparkan rincian biaya pengeluaran untuk pemindahan Ibukota.
“Ya kan kita akan mempelajari masterplan yang dibangun atau yang di-develop oleh Menteri PU dan Bappenas, bagaimana dari sisi kebutuhan pembangunan itu sendiri dari mulai status asetnya, tanah, dan bagaimana layout dan kebutuhan capital spending-nya,” jelas Sri Mulyani di Gedung DPR RI. Rmol.id
Sikap Menkeu kontras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro yang sudah berani menyebut besaran anggaran pemindahan Ibukota.
Pengamat komunikasi politik Universitas Mercu Buana, Maksimus Ramses Lalongkoe melihat, perbedaan sikap ini menunjukkan ketidaksiapan eksekutif dalam mengemban megaproyek Ibukota.
"Harusnya mereka kompak kalau memang belum. Memindahkan Ibukota itu tidak mudah, harus dilakukan perencanaan yang matang," kata Maksimus Ramses kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (28/8).
Sikap menteri terbaik se-Asia Pasifik ini yang tak bisa menjelaskan pembiayaan pindah Ibukota di depan wakil rakyat juga menjadi catatan tersendiri bagi publik.
"Sebelum menyampaikan ke publik, harus sepakat dulu. Kalau presiden ngomong A, menterinya juga harus ngomong A. Jangan sampai rakyat bingung," tandasnya.
Pemindahan Ibukota Indonesia dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Pesisir Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara ditaksir menelan anggaran sebesar Rp 466 triliun. Jumlah makin menjadi perhatian lantaran pemerintah menyebut hanya akan menggunakan APBN 19 persen dari total biaya pemindahan.
Namun dalam rapat bersama DPR, Selasa kemarin (27/8), Menkeu menyebut belum mempelajari masterplan pemindahan Ibukota, artinya belum bisa memaparkan rincian biaya pengeluaran untuk pemindahan Ibukota.
“Ya kan kita akan mempelajari masterplan yang dibangun atau yang di-develop oleh Menteri PU dan Bappenas, bagaimana dari sisi kebutuhan pembangunan itu sendiri dari mulai status asetnya, tanah, dan bagaimana layout dan kebutuhan capital spending-nya,” jelas Sri Mulyani di Gedung DPR RI. Rmol.id