Jurnalmuslim.com - Keinginan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan omnibus law yang dapat merevisi banyak undang-undang sekaligus akhirnya terwujud melalui pengesahan UU Cipta Kerja.
Jika melihat ke belakang, keinginan Presiden Jokowi ini sudah disampaikan sejak ia dilantik bersama Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden RI 2019-2024 pada 20 Oktober 2019.
Dalam pidatonya seusai pelantikan, Presiden Jokowi menyoroti tumpang tindih pada berbagai regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi menyampaikan niatnya untuk mengajak DPR menyusun omnibus law, sebuah UU sapu jagat yang bisa merevisi banyak UU.
"Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus," kata Kepala Negara saat itu.
Tidak lama setelah pidato itu, Presiden Jokowi langsung memerintahkan jajarannya untuk membuat draf omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.
Saat penyusunan draf masih berjalan di tingkat pemerintah, Presiden Jokowi bahkan sudah menyampaikan harapannya ke DPR agar bisa merampungkan pembahasan RUU ini dalam 100 hari.
"Saya akan angkat jempol, dua jempol, kalau DPR bisa selesaikan ini dalam 100 hari," ujar Presiden Jokowi dalam pertemanan tahunan industri keuangan 2020 pada pertengahan Januari.
Pada 12 Februari 2020, draf RUU Cipta Kerja yang disusun oleh pemerintah akhirnya rampung.
Pemerintah mengeklaim, penyusunan RUU tersebut sudah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pengusaha dan buruh.
Melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah, draf RUU tersebut diserahkan kepada DPR.
Pemerintah sempat mengubah nama RUU itu menjadi RUU Cipta Kerja. Kata "lapangan" dalam penamaan sebelumnya diputuskan untuk dihapus.
RUU ini kemudian mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13.
Sempat ditunda Jokowi
Sejak awal, RUU ini langsung mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, khususnya kaum buruh. Sebab, banyak aturan yang dianggap bisa memangkas hak buruh dan menguntungkan pengusaha.
Pada 24 April, Presiden Jokowi mengumumkan pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU Cipta Kerja khusus untuk klaster ketenagakerjaan.
Keputusan diambil untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Sebelum mengumumkan keputusan tersebut, Presiden Jokowi diketahui sempat bertemu dengan tiga pimpinan serikat buruh.
"Penundaan ini untuk memberikan kesempatan ke kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan," kata Presiden Jokowi.
Dengan keputusan penundaan tersebut, maka buruh pun membatalkan aksi unjuk rasa besar-besaran.
Dikebut
Klaster ketenagakerjaan akhirnya kembali dibahas oleh DPR dan pemerintah pada 25 September.
Setelah itu pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR terus dikebut. Proses pembahasannya relatif berjalan mulus.
Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU, anggota Dewan sampai rela melakukan rapat maraton. Selama sekitar tujuh bulan pembahasan, rapat dilakukan sebanyak 64 kali, termasuk pada dini hari, akhir pekan, hingga saat reses.
Pembahasan selesai dan akhirnya RUU ini dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai UU pada Senin (5/10/2020). Para buruh pun melakukan aksi untuk menolak pengesahan tersebut.
Satu jam sebelum rapat paripurna dimulai, Presiden Jokowi sempat menerima dua pemimpin serikat buruh ke Istana, yakni Presiden KSPI Said Iqbal beserta Presiden KSPSI Andi Gani.
Kedua pentolan buruh tersebut mengutarakan sejumlah pasal yang dinilai merugikan buruh sehingga pengesahan RUU Cipta Kerja harus ditunda.
Namun, rupanya pertemuan itu tak mengubah apa pun.
Rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU tetap dilaksanakan di Gedung DPR. Dalam rapat pengesahan itu, Fraksi Partai Demokrat dan PKS tetap pada sikapnya untuk menolak RUU sapu jagat itu.
Namun, suara dua fraksi tersebut kalah oleh tujuh fraksi lainnya yang mendukung RUU ini disahkan, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP.
Meski sempat terjadi interupsi dan walkout dari Fraksi Demokrat, akhirnya RUU Cipta Kerja pun disahkan menjadi UU.
Sementara di luar ruang sidang, buruh masih menggelar aksi unjuk rasa di berbagai daerah untuk menolak pengesahan tersebut.
Tetap pangkas hak pekerja
UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal ini disusun dengan metode omnibus law. Oleh karena itu, pengesahan RUU Cipta Kerja tersebut akan berdampak terhadap 1.203 pasal dari 79 UU yang terkait dan terbagi dalam 7.197 daftar inventarisasi masalah.
Meski pembahasan klaster ketenegakerjaan sempat ditunda untuk menyerap aspirasi buruh, namun UU yang telah disahkan tetap memuat berbagai pasal yang bisa memangkas hak pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, masih ada sejumlah aturan yang ditolak buruh dalam UU Cipta kerja.
Pertemuannya dengan Presiden Jokowi pada menit-menit akhir tak mengubah keberadaan pasal-pasal tersebut.
Pertama, yakni menuntut upah minimum kota (UMK) serta upah minimum sektoral kota (UMSK) tidak dihilangkan. Selain itu, buruh meminta nilai pesangon tidak berkurang.
Buruh juga menolak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup.
Kemudian, buruh juga menolak adanya outsourcing seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif serta hilangnya cuti dan hak upah atas cuti.
Lalu, buruh juga menuntut karyawan kontrak dan outsourcing untuk mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.
"Sementara itu, terkait dengan PHK, sanksi pidana kepada pengusaha, dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU Nomor 13 Tahun 2003," ujar Iqbal.
Mogok hingga gugat ke MK
Merespons pengesahan UU Cipta Kerja, buruh pun menggelar mogok nasional selama tiga hari dari 6-8 Oktober. Said Iqbal mengeklaim, aksi mogok nasional ini diikuti sekitar 2 juta buruh di 25 provinsi, yang berasal dari berbagai sektor industri.
Ia menyebut, mogok nasional dilakukan sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Selain itu, ada juga landasan Pasal 4 UU No 21 Tahun 2000 yang menyebutkan fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
Dengan aksi mogok nasional, Said Iqbal pun sekaligus membantah bahwa ada transaksi politik saat ia bertemu dengan Presiden Jokowi ke Istana Kepresidenan.
Selain aksi mogok nasional, elemen buruh tengah mempertimbangkan akan mengajukan uji materi terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih menuturkan bahwa pertimbangan uji materi tersebut merupakan salah satu langkah litigasi dalam melanjutkan perlawanan menolak UU Cipta Kerja.
"Tidak menutup kemungkinan bakal melakukan judicial review. Judicial review menjadi penekanan kami saat ini," ujar Jumisih saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Rencana pengajuan judicial review juga akan dilakukan organisasi buruh di bawah kepemimpinan Andi Gani Nena Wea, KSPSI.
Baca juga: Tak Ikut Demo, Buruh Bangka Belitung Ingin UU Cipta Kerja Diuji di MK
Andi menyebukant, sejumlah pengacara top sudah bersedia membantu buruh melayangkan gugatan ke MK.
"Ketika DPR memutuskan itu menjadi UU, memang enggak ada langkah lain bagi kami selain gugat di MK," ujar Andi.
Tanggapan Menaker
Menanggapi serangkaian penolakan itu, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah meminta para pekerja dan buruh membaca UU Cipta Kerja terlebih dahulu secara utuh.
Ia mengeklaim, banyak aspirasi pekerja yang diakomodasi pemerintah dalam UU Cipta Kerja sehingga aksi mogok nasional dinilainya tak lagi relevan.
"Pertimbangkan rencana mogok ulang itu. Baca secara utuh UU Cipta Kerja. Banyak sekali aspirasi teman-teman yang kami akomodasi," kata Ida melalui keterangan tertulis yang diunggah di akun Instagram Kementerian Tenaga Kerja, Selasa (6/10/2020).
Beberapa aspirasi pekerja yang diakomodasi di dalam UU itu, misalnya ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), tenaga kerja alih daya (outsourcing), serta syarat PHK dan upah yang masih mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ia pun mengatakan bahwa UU Cipta Kerja juga masih mengakui adanya upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Kendati demikian, Ida menyadari bahwa tidak semua aspirasi para buruh dan pekerja dapat diakomodasi pemerintah dan DPR.