Jurnalmuslim.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10). DPR mempercepat jadwal pengesahan dari jadwal semula direncanakan 8 Oktober mendatang karena alasan laju Covid-19 terus meningkat.
Upaya menggelar demo juga dilarang dengan alasan masih dalam situasi pandemi virus corona. Buruh bakal menggelar mogok nasional selama tiga hari berturut-turut.
Sementara itu di media sosial muncul tagar #MosiTidakPercaya. Tagar tersebut menjadi topik terpopuler di Twitter Indonesia. Mereka sudah tak lagi mempercayai
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengakui tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR dan pemerintah semakin menurun menyusul pengesahan RUU Cipta Kerja. Nur menyebut pengesahan RUU yang dilakukan DPR kemarin menjadi puncak pengkhianatan negara terhadap kehendak rakyat.
"Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang," kata Nur kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Nur mengatakan penolakan pelbagai elemen masyarakat tak menghambat langkah DPR dan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan, DPR dan pemerintah tak peduli dengan berbagai protes kalangan masyarakat. Menurut Nur, kondisi tersebut menjadi cermin kemunduran demokrasi Indonesia.
"Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan persekongkolan jahat proses legislasi yang abai pada kepentingan hak asasi manusia dan lingkungan hidup," ujarnya.
Nur sendiri mencatat ada beberapa hal krusial dalam ketentuan RUU Cipta Kerja terkait isu lingkungan hidup. Beberapa di antaranya terkait penghapusan izin lingkungan sebagai syarat penerbitan izin usaha, reduksi norma pertanggungjawaban mutlak dan pertanggungjawaban pidana korporasi, hingga perpanjangan masa waktu perizinan kehutanan dan perizinan berbasis lahan.
Nur menyatakan beleid tersebut semakin melanggengkan dominasi modal dan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup. Di tambah lagi, kata Nur, RUU Cipta Kerja mengurangi, bahkan menghilangkan partisipasi publik dalam ruang peradilan dan perizinan kegiatan usaha.
"Walhi sendiri sudah secara tegas menjatuhkan mosi tidak percaya. Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan tindakan inkonstitusional dan tidak demokratis yang harus dilawan dengan sehebat-hebatnya," katanya.
Corona Jadi Tameng
Terpisah, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai percepatan jadwal pengesahan RUU Ciptaker kemarin terlihat mengada-ada. Lucius mengatakan wakil rakyat seharusnya menunda pembahasan dan pengesahan RUU tersebut di tengah pandemi Covid-19 ketimbang buru-buru menjadikannya UU.
"Ini terlihat seperti memanfaatkan corona sebagai tameng untuk mengelabui publik saja," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Lucius memandang aneh DPR menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk memajukan jadwal paripurna pengesahan RUU Ciptaker. Padahal, kata dia, anggota dewan sejak awal telah memanfaatkan pandemi untuk memuluskan pembahasan cepat RUU tersebut.
Menurut Lucius, DPR saat ini sedang memanipulasi dan mengecoh kelompok masyarakat yang menolak RUU Ciptaker dengan mempercepat pengesahan.
"Pola DPR mengecoh kelompok masyarakat dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini sudah sejak awal digunakan," ujarnya.
Di sisi lain, kata Lucius, RUU Ciptaker merupakan misi tersendiri dari pemerintah dan DPR. Menurutnya, pemerintah dan DPR sebenarnya sudah menyepakati isi RUU Ciptaker sejak pertama menyerahkan draf tersebut ke DPR pada Februari lalu.
Lucius mengatakan pembahasan yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam beberapa bulan ini hanya sekadar mencari legitimasi yang sudah sejak awal menjadi misi pemerintah dan koalisi.
"Jauh di balik itu sesungguhnya DPR dan pemerintah justru terlihat berhasil menjauhkan publik dari pembicaraan soal-soal substansi RUU Ciptaker ini," kata Lucius.
Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai kepercayaan publik terhadap DPR dan Jokowi usai disahkannya RUU Cipta Kerja tidak bisa dipukul rata. Menurutnya, hanya kalangan buruh, aktivis, pekerja informal, dan swasta yang tingkat kepercayaannya mulai luntur.
"Saya pikir itu karena mereka menempati posisi sebagai kontributor ekonomi terbesar yang mana 61-70 persen dikuasai," kata Wasisto.
Meski begitu, kata Wasisto, penolakan terhadap RUU Cipta Kerja ini tak mencerminkan mayoritas mayoritas masyarakat. Menurutnya, masih ada kelompok masyarakat yang menganggap kebijakan unggulan Presiden Joko Widodo itu penting untuk akselerasi ekonomi Indonesia.
"Terlebih karena posisi Indonesia sebagai bagian anggota G-20," kata Wasisto. cnnindonesia.com
Upaya menggelar demo juga dilarang dengan alasan masih dalam situasi pandemi virus corona. Buruh bakal menggelar mogok nasional selama tiga hari berturut-turut.
Sementara itu di media sosial muncul tagar #MosiTidakPercaya. Tagar tersebut menjadi topik terpopuler di Twitter Indonesia. Mereka sudah tak lagi mempercayai
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengakui tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR dan pemerintah semakin menurun menyusul pengesahan RUU Cipta Kerja. Nur menyebut pengesahan RUU yang dilakukan DPR kemarin menjadi puncak pengkhianatan negara terhadap kehendak rakyat.
"Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang," kata Nur kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Nur mengatakan penolakan pelbagai elemen masyarakat tak menghambat langkah DPR dan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan, DPR dan pemerintah tak peduli dengan berbagai protes kalangan masyarakat. Menurut Nur, kondisi tersebut menjadi cermin kemunduran demokrasi Indonesia.
"Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan persekongkolan jahat proses legislasi yang abai pada kepentingan hak asasi manusia dan lingkungan hidup," ujarnya.
Nur sendiri mencatat ada beberapa hal krusial dalam ketentuan RUU Cipta Kerja terkait isu lingkungan hidup. Beberapa di antaranya terkait penghapusan izin lingkungan sebagai syarat penerbitan izin usaha, reduksi norma pertanggungjawaban mutlak dan pertanggungjawaban pidana korporasi, hingga perpanjangan masa waktu perizinan kehutanan dan perizinan berbasis lahan.
Nur menyatakan beleid tersebut semakin melanggengkan dominasi modal dan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup. Di tambah lagi, kata Nur, RUU Cipta Kerja mengurangi, bahkan menghilangkan partisipasi publik dalam ruang peradilan dan perizinan kegiatan usaha.
"Walhi sendiri sudah secara tegas menjatuhkan mosi tidak percaya. Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan tindakan inkonstitusional dan tidak demokratis yang harus dilawan dengan sehebat-hebatnya," katanya.
Corona Jadi Tameng
Terpisah, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai percepatan jadwal pengesahan RUU Ciptaker kemarin terlihat mengada-ada. Lucius mengatakan wakil rakyat seharusnya menunda pembahasan dan pengesahan RUU tersebut di tengah pandemi Covid-19 ketimbang buru-buru menjadikannya UU.
"Ini terlihat seperti memanfaatkan corona sebagai tameng untuk mengelabui publik saja," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Lucius memandang aneh DPR menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk memajukan jadwal paripurna pengesahan RUU Ciptaker. Padahal, kata dia, anggota dewan sejak awal telah memanfaatkan pandemi untuk memuluskan pembahasan cepat RUU tersebut.
Menurut Lucius, DPR saat ini sedang memanipulasi dan mengecoh kelompok masyarakat yang menolak RUU Ciptaker dengan mempercepat pengesahan.
"Pola DPR mengecoh kelompok masyarakat dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini sudah sejak awal digunakan," ujarnya.
Di sisi lain, kata Lucius, RUU Ciptaker merupakan misi tersendiri dari pemerintah dan DPR. Menurutnya, pemerintah dan DPR sebenarnya sudah menyepakati isi RUU Ciptaker sejak pertama menyerahkan draf tersebut ke DPR pada Februari lalu.
Lucius mengatakan pembahasan yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam beberapa bulan ini hanya sekadar mencari legitimasi yang sudah sejak awal menjadi misi pemerintah dan koalisi.
"Jauh di balik itu sesungguhnya DPR dan pemerintah justru terlihat berhasil menjauhkan publik dari pembicaraan soal-soal substansi RUU Ciptaker ini," kata Lucius.
Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai kepercayaan publik terhadap DPR dan Jokowi usai disahkannya RUU Cipta Kerja tidak bisa dipukul rata. Menurutnya, hanya kalangan buruh, aktivis, pekerja informal, dan swasta yang tingkat kepercayaannya mulai luntur.
"Saya pikir itu karena mereka menempati posisi sebagai kontributor ekonomi terbesar yang mana 61-70 persen dikuasai," kata Wasisto.
Meski begitu, kata Wasisto, penolakan terhadap RUU Cipta Kerja ini tak mencerminkan mayoritas mayoritas masyarakat. Menurutnya, masih ada kelompok masyarakat yang menganggap kebijakan unggulan Presiden Joko Widodo itu penting untuk akselerasi ekonomi Indonesia.
"Terlebih karena posisi Indonesia sebagai bagian anggota G-20," kata Wasisto. cnnindonesia.com