Pengamat Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Pujiyono menilai tuntutan satu tahun penjara kepada terdakwa kasus penyiraman air keras ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tidak lazim. Tuntutan itu sekaligus mengindikasikan bahwa proses hukum tidak serius menjadi semakin menguat.
"Kalau sisi hukum pasal yang dikenakan memang penganiayaan, yang tidak lazim kan yang tidak sengaja itu. Kalau tidak sengaja tuntutan maksimalnya kan hanya dua tahun. Kalau dituntut setahun ya sudah, tidak masalah," kata Pujiyono kepada SINDOnews, Jumat (12/6/2020). Hal itu seolah mengindikasikan bahwa proses hukum tidak serius.
Jaksa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sebenarnya bisa mengenakan pasal penganiayaan berencana yang hukumannya bisa sampai 10 tahun. Sekaligus menunjukkan bahwa pelakunya memang terdakwa yang kini disidang. Namun karena tuntutannya dinilai terlalu ringan, dugaan publik bahwa terdakwa yang disidang bukan pelaku yang sebenarnya, menjadi semakin kuat.
Kesimpulan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan tidak sengaja menimbulkan pertanyaan serius bagi masyarakat. "Seolah-olah ada aktor di belakang yang bermain," ungkapnya. Jika berniat menunjukkan keseriusan, jaksa bisa membuat tuntutan yang maksimal bisa mencapai 15 tahun. Dengan demikian, publik menjadi percaya bahwa pelakunya memang terdakwa yang kini sidang.
Dengan tuntutan hanya satu tahun, diperkirakan bakal mempengaruhi vonis hakim. Sebab biasanya, vonis hakim mengikuti dan tidak melebihi tuntutan jaksa. Meski ada di antaranya ada vonis hakim yang bisa melebihi tuntutan jaksa. "Jika tuntutannya hanya satu tahun, bisa kurang dari setahun atau setahun hanya percobaan saja," katanya.
Tuntutan satu tahun, lanjutnya, seolah-olah membenarkan bahwa dugaan publik sejak awal terbukti jika pelaku akan dilindungi. Sekaligus mengindikasikan ada aktor lain di belakang para pelaku. "Ini sebenarnya yang harus dicari siapa pelaku di belakang itu. Kalau hanya berhenti di pelaku yang dituntut satu tahun ini, seolah-olah apa yang dilakukan pelaku kepada Novel Baswedan hanya sebagai kejahatan biasa," kata Pujiyono.
Secara logika tidak bisa diterima ketika subuh ada orang menyiram air keras tetapi kemudian dianggap tidak disengaja. "Logikanya susah diterima dengan akal sehat, tetapi apa pun ini telah menjadi tuntutan jaksa," katanya.
Pujiyono berharap hakim dapat berpikir lebih jernih. Harapannya bisa menggunakan penafsiran yang lai, sehingga hakim dapat bertindak progresif.
Pihaknya mendesak kepada aparat penegak hukum untuk meneliti atau menangkap dugaan adanya dalang di belakang pelaku yang kini disidang. Sebab sangat berbahaya jika pegiat hukum, apalagi penegak hukum, mendapat penyerangan sebagaimana dialami Novel Baswedan.
"Ya akhirnya hukum hanya berlaku biasa saja, seolah-olah kemudian yang berkuasa, entah itu karena modal atau apa pun, dapat melakukan apapun untuk menutup kejahatan hukumnya," kata Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UNS ini. jateng.sindonews.com