Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum di Kejati DKI terhadap penyerang Novel Baswedan mencederai rasa keadilan. Menurutnya, pelaku yang bisa saja membunuh Novel, tetap dikenakan pasal penganiayaan, sementara Novel harus menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup.
"Insiden yang menimpa Novel ini bukan hanya soal teror, tetapi juga menjadi masalah serius yang mengancam kelanjutan pelaksanaan agenda reformasi di Indonesia, khususnya dalam bidang pemberantasan korupsi dan penegakan HAM," kata Usman dalam keterangan tertulis, Kamis, 11 Juni 2020. Dia menambahkan pelaku kunci kasus ini harus diungkap.
Usman mengatakan kasus-kasus high profile yang menyasar pembela HAM, seperti penyerangan Novel ini mengingatkan pada kasus Munir. Motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi.
"Ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya," ujarnya.
Dia membandingkan dengan tuntutan hukuman yang dialami tahanan hati nurani Papua. Untuk sesuatu yang dilindungi oleh hukum nasional dan internasional, mereka malah terancam hukuman hingga belasan tahun. Mereka, kata Usman, tidak bersenjata, melakukan perbuatan secara damai, tapi justru dibungkam.
Sedangkan pelaku penyerangan Novel justru sebaliknya, bersenjata dan jelas melakukan kekerasan, namun ancaman hukumannya sangat ringan.
"Hukum menjadi dipertanyakan dan keseriusan Indonesia untuk menegakkan HAM juga turut dipertanyakan," kata dia. nasional.tempo.co