JAKARTA -- Majalah terkemuka terbitan Inggris, The Economist pada edisi terbaru mengulas tentang rivalitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19 yang melanda Ibu Kota dan Indonesia. Bahkan, majalah berpengaruh ini mengangkat artikel judul 'Presiden Indonesia Punya Saingan Baru'.
Kasus Covid-19 pertama di Indonesia telah dikonfirmasi pada 2 Maret 2020, dan selama berpekan-pekan, Anies telah mendesak pemerintah pusat untuk bertindak. Namun, pemerintah pusat ragu-ragu ketika virus tersebut menyebar, pertama melalui Jakarta, kemudian ke seantero negeri. Akhirnya, pada 31 Maret 2020, Jokowi mengumumkan keadaan darurat nasional.
Bahkan pada saat itu, pemerintah daerah (pemda) diminta untuk meminta izin sebelum melakukan karantina wilayah, sebuah proses yang dihambat lewat birokrasi. Anies Baswedan pun dengan lantang menyampaikan kritikannya. “(Itu) seolah-olah kami mengusulkan proyek yang membutuhkan studi kelayakan,” ucapnya kepada The Jakarta Post, seperti dikutip dari The Economist.
“Tidak bisakah Kementerian (Kesehatan) melihat bahwa kita menghadapi peningkatan jumlah kematian? Apakah itu tidak cukup?” kata Anies menambahkan.
Pernyataan tersebut adalah satu serangan yang dilepaskan Anies terhadap Jokowi. Dia mengkritik pemerintahan Jokowi karena tidak bertindak cepat dan kuat, dan Anies berulang kali membantah data pemerintah pusat tentang jumlah kasus Covid-19. Itu adalah 'tamparan di wajah' untuk Jokowi dan para letnannya (pembantunya), kata seorang diplomat asing. Keluhan jelas menjebak presiden.
Ketika Anies berusaha untuk melakukan karantina wilayah di Jakarta setelah Jokowi menghabiskan berpekan-pekan menolak untuk melakukan hal yang sama ke seluruh negeri, Jokowi menyatakan, gubernur tidak memiliki wewenang untuk melakukannya. Pada hari berikutnya, Jokowi mengumumkan prosedur berat yang diperlukan sebelum pemda (Pemprov DKI) dapat membatasi pergerakan orang.
Di bagian lain, akademisi Australian Nasional University, Edward Aspinall menganggap, Anies benar-benar khawatir tentang dampak Covid-19 pada konstituennya. Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) tersebut juga peduli tentang citranya sebagai 'orang kebijakan publik yang berpikir serius tentang masalah-masalah besar', kata Aspinall menambahkan. Upaya Anies untuk mengadopsi respons yang ketat dan berbasis data terhadap wabah virus corona meningkatkan citra tersebut.
Tetapi, Anies juga paham bagaimana cara mengeksploitasi kelemahan Jokowi. Banyak Muslim taat menganggap Jokowi terlalu sekuler dalam pandangannya dan kesalehan yang meragukan. Mereka (umat Islam) merindukan seorang jawara untuk mengambil pemerintahannya dan merebut kursi kepresidenan pada 2024, ketika masa jabatan Jokowi dua periode berakhir.
Para pemilih kelompok tersebut selama ini mendukung Prabowo di dua pencalonan sebagai presiden. Dan, Anies dikenal banyak orang di antara mereka karena kasus Ahok. Gubernur DKI tersebut sering menjadi pemberitaan, yang akan membantunya membangun profil (figur) nasional.
Jokowi juga menggunakan jabatan gubernur DKI sebagai batu loncatan untuk jabatan kepresidenan. Dan cara termudah bagi Anies Anies untuk mendefinisikan dirinya adalah beroposisi ke Jokowi.
Anies mungkin telah mengkalkulasi, pandemi memberikan kesempatan yang bagus untuk memamerkan kualitas kepemimpinan yang dianggap banyak orang kurang dimiliki Jokowi, seperti ketegasan dan empati, ucap diplomat asing itu. Langkah tersebut mungkin saja berhasil.
Mayoritas calon presiden tidak akan memulai kampanye mereka selama dua tahun ke depan. Hanya saja, Anies sudah mulai merayu pihak oposisi. Partai Nasdem, salah satu pendukung Jokowi, semakin dekat dengan Anies, kata mantan ajudan Jokowi.
Ini jalan yang panjang menuju hari pemilihan presiden. Namun, seperti yang dikatakan Alexander Arifianto dari Study Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Singapura, “Anies Baswedan baru saja mulai.” republika.co.id