Presiden Joko Widodo diminta bersuara menyampaikan kecaman terhadap tragedi berdarah yang diskriminatif terhadap umat Muslim di India. Status Jokowi sebagai kepala negara dengan rakyat mayoritas muslim terbesar di dunia jadi alasannya.
Sekretaris Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Munarman heran dengan sikap Jokowi yang juga tak kunjung menyampaikan protes resmi terhadap otoritas India.
"Rakyat Indonesia menjadi bertanya-tanya kepada Presiden Republik Indonesia, ketika tragedi menimpa umat Islam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri Presiden bungkam seribu bahasa," kata Munarman, Minggu malam, 1 Maret 2020.
Menurutnya, berbeda saat selain umat Islam yang dapat musibah maka akan dapat perhatian serta komentar. Ia berharap Jokowi tak diam dan harus menjadi representasi kebanggaan rakyat RI dalam menyuarakan sikap politik internasional.
Namun, jika eks Gubernur DKI itu masih diam, maka jadi pertanyaan besar.
"Presiden jangan diam membisu. Ini menjadi pertanyaan besar bagi umat Islam Indonesia. Hanya Presiden dan Allah yang tahu apa alasan sesungguhnya," tutur Munarman.
Pun, pengurus DPP FPI, Slamet Ma'arif ikut mengkritisi sikap Jokowi soal tragedi berdarah di India. Kata dia, sebagai representasi negara mayoritas muslim terbesar dunia, Jokowi bisa menyampaikan suara kritis atau setidaknya simpati.
"Saya enggak ngerti yang ada di pikiran pak Jokowi sampai saat ini karena masih membisu urusan pembantaian Muslim India. Jangan membisu Pak Jokowi, bersuaralah," tutur Slamet yang juga Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 tersebut.
Menurut dia, Jokowi bisa punya langkah tegas seperti menyampaikan nota protes resmi sampai menghentikan hubungan diplomatik dengan India.
"Larang dong bendera India berkibar di Indonesia sampai pembantaian dihentikan! Tunjukan kemusliminan engkau Pak Jokowi," sebutnya.
Insiden berdarah di India jadi sorotan. Umat muslim di negara tersebut mengalami perlakuan diskriminatif. Pemicunya karena keberadaan Undang-undang Kewarganegaraan.
UU ini kontroversi dan diskriminatif karena hanya memberi status kewarganegaraan bagi imigran yang menerima persekusi di negaranya dengan syarat beragama Hindu, Kristen, dan agama minoritas lainnya selain muslim. Polemik yang berujung aksi kekerasan berdarah pun terjadi. Puluhan orang dilaporkan tewas karena konflik ini.
UU kontroversial ini disahkan di rezim Perdana Menteri India, Narendra Modi yang didukung partai pengusungnya Bhratiya Janata Party (BJP). Jumlah korban tewas karena bentrok umat Muslim dan Hindu di India disebut sudah mencapai 42 orang.
Dari pejabat menteri kabinet pemerintahan Jokowi, baru Menteri Agama Fachrul Razi yang mengecam tindakan kekerasan yang terjadi di India. Fachrul berharap umat beragama di India tak merusak nilai kemanusiaan. Ia bilang tak ada ajaran agama yang membenarkan praktik kekerasan.
"Tidak ada ajaran agama manapun yang membenarkan tindakan kekerasan, apapun motifnya. Memuliakan nilai kemanusiaan adalah esensi ajaran semua agama,” kata Fachrul di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.
Terkait itu, sejumlah elemen masyarakat Islam seperti FPI, PA 212, GNPF Ulama akan menyampaikan unjuk rasa di Kedubes India pada Jumat, 6 Maret 2020. vivanews.com
Sekretaris Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Munarman heran dengan sikap Jokowi yang juga tak kunjung menyampaikan protes resmi terhadap otoritas India.
"Rakyat Indonesia menjadi bertanya-tanya kepada Presiden Republik Indonesia, ketika tragedi menimpa umat Islam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri Presiden bungkam seribu bahasa," kata Munarman, Minggu malam, 1 Maret 2020.
Menurutnya, berbeda saat selain umat Islam yang dapat musibah maka akan dapat perhatian serta komentar. Ia berharap Jokowi tak diam dan harus menjadi representasi kebanggaan rakyat RI dalam menyuarakan sikap politik internasional.
Namun, jika eks Gubernur DKI itu masih diam, maka jadi pertanyaan besar.
"Presiden jangan diam membisu. Ini menjadi pertanyaan besar bagi umat Islam Indonesia. Hanya Presiden dan Allah yang tahu apa alasan sesungguhnya," tutur Munarman.
Pun, pengurus DPP FPI, Slamet Ma'arif ikut mengkritisi sikap Jokowi soal tragedi berdarah di India. Kata dia, sebagai representasi negara mayoritas muslim terbesar dunia, Jokowi bisa menyampaikan suara kritis atau setidaknya simpati.
"Saya enggak ngerti yang ada di pikiran pak Jokowi sampai saat ini karena masih membisu urusan pembantaian Muslim India. Jangan membisu Pak Jokowi, bersuaralah," tutur Slamet yang juga Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 tersebut.
Menurut dia, Jokowi bisa punya langkah tegas seperti menyampaikan nota protes resmi sampai menghentikan hubungan diplomatik dengan India.
"Larang dong bendera India berkibar di Indonesia sampai pembantaian dihentikan! Tunjukan kemusliminan engkau Pak Jokowi," sebutnya.
Insiden berdarah di India jadi sorotan. Umat muslim di negara tersebut mengalami perlakuan diskriminatif. Pemicunya karena keberadaan Undang-undang Kewarganegaraan.
UU ini kontroversi dan diskriminatif karena hanya memberi status kewarganegaraan bagi imigran yang menerima persekusi di negaranya dengan syarat beragama Hindu, Kristen, dan agama minoritas lainnya selain muslim. Polemik yang berujung aksi kekerasan berdarah pun terjadi. Puluhan orang dilaporkan tewas karena konflik ini.
UU kontroversial ini disahkan di rezim Perdana Menteri India, Narendra Modi yang didukung partai pengusungnya Bhratiya Janata Party (BJP). Jumlah korban tewas karena bentrok umat Muslim dan Hindu di India disebut sudah mencapai 42 orang.
Dari pejabat menteri kabinet pemerintahan Jokowi, baru Menteri Agama Fachrul Razi yang mengecam tindakan kekerasan yang terjadi di India. Fachrul berharap umat beragama di India tak merusak nilai kemanusiaan. Ia bilang tak ada ajaran agama yang membenarkan praktik kekerasan.
"Tidak ada ajaran agama manapun yang membenarkan tindakan kekerasan, apapun motifnya. Memuliakan nilai kemanusiaan adalah esensi ajaran semua agama,” kata Fachrul di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.
Terkait itu, sejumlah elemen masyarakat Islam seperti FPI, PA 212, GNPF Ulama akan menyampaikan unjuk rasa di Kedubes India pada Jumat, 6 Maret 2020. vivanews.com