Baru-baru ini ada cuitan bernada protes terkait tindakan polisi yang menggunduli rambut kepala dari para tersangka susur sungai SMPN 1 Turi Sleman. Cuitan tersebut diunggah oleh akun twitter PB PGRI yang merasa tidak terima atas perlakuan polisi terhadap para guru yang ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut akun tersebut tidak selayaknya para guru itu diperlakukan layaknya pelaku kriminalitas lain seperti pelaku pencurian, perampokan, atau pembunuhan dimana rambut kepala mereka hampir selalu dibotaki polisi pasca tertangkap.
Karena bagaimanapun juga nestapa yang menimpa sebagian siswa-siswi SMPN 1 Turi itu bukanlah suatu tindakan yang disengaja serta merupakan bagian dari program resmi kepramukaan, sehingga perlakuan terhadap para tersangka pun semestinya tidak seperti memperlakukan kebanyakan pelaku kriminalitas lain.
Sampai saat ini sebenarnya saya pribadi masih belum mendapatkan pengetahuan pasti perihal maksud dibalik "aksi" membotaki rambut pelaku tindak kriminal. Namun hal itu bisa jadi dilakukan sebagai upaya untuk "merapikan" penampilan pelaku kejahatan yang sebagian diantaranya seringkali berdandan serampangan, rambut gondrong, dan lain sebagainya sehingga tidak enak dipandang.
Selain itu, maksud membotaki rambut kepala penjahat bisa jadi sebagai bentuk hukuman "kecil" aparat kepada para pelaku kejahatan. Mungkin alasan kedualah yang lebih memungkinkan terkait motif dibalik penggundulan yang dilakukan kepada para tersangka kasus susur sungai yang menewaskan setidaknya 10 siswa SMPN 1 Turi Sleman itu.
Terlepas layak atau tidaknya para tersangka menerima hukuman kecil dari aparat kepolisian ada satu hal menarik yang ingin saya bahas disini. Bahwa ternyata tidak semua pelaku tindak kriminal atau pelanggar hukum akan dibotaki rambut kepalanya pasca ditangkap. Sampai saat inipun saya masih belum menemukan referensi atau Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait hal ini.
Sehingga tidak mengherankan PB PGRI sempat mempermasalahkan perihal SOP seiring tindakan aparat menggunduli para guru yang menjadi tersangka. Mungkin setiap instansi kepolisian pada setiap wilayah memiliki ketentuannya masing-masing terkait bagaimana memperlakukan para tersangka pelanggar hukum.
Namun sepertinya "kebijakan" membotaki rambut kepala tersangka itu tidak berlaku bagi para koruptor atau terpidana kasus korupsi. Padahal kalau boleh membandingkan, koruptor itu lebih jahat dari pencuri, lebih rakus dari perampok, dan lebih kejam dari perampas harta milik orang lain.
Saat pelaku pencurian kelas teri diperlakukan begitu keras dan rambut kepalanya dibotaki, hal itu tidak lantas berlaku juga bagi para tersangka korupsi. Mereka terkesan sebagai sosok yang santun disatu sisi, padahal disisi yang lain mereka adalah koruptor yang culas.
Jika para guru yang ditetapkan sebagai tersangka digunduli kepalanya karena telah lalai dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia, maka tindakan korupsi pun bisa menyebabkan "efek" serupa namun lebih "halus" lagi. Karena korupsi pada dasarnya adalah merenggut hak orang banyak bahkan bisa menjadi pemicu nestapanya hidup banyak orang.
Bahkan seorang mantan calon petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun lalu pernah membuat presentasi yang menampilkan gambar orang bunuh diri dihadapan para anggota dewan. Ia menuturkan kala itu bahwa potret korupsi begitu berimbas parah terhadap kesejahteraan hidup masyarakat.
Dengan efek "kronis" yang rentan ditimbulkannya apakah tidak cukup pantas kiranya para koruptor diperlakukan layaknya pelaku kejahatan berat lain? Bahkan kalau memungkinkan mereka seharusnya digunduli kepalanya saat sudah "resmi" mendapatkan vonis pengadilan sebagai pelaku kejahatan.
Salam hangat,
Agil S Habib
kompasiana.com
Menurut akun tersebut tidak selayaknya para guru itu diperlakukan layaknya pelaku kriminalitas lain seperti pelaku pencurian, perampokan, atau pembunuhan dimana rambut kepala mereka hampir selalu dibotaki polisi pasca tertangkap.
Karena bagaimanapun juga nestapa yang menimpa sebagian siswa-siswi SMPN 1 Turi itu bukanlah suatu tindakan yang disengaja serta merupakan bagian dari program resmi kepramukaan, sehingga perlakuan terhadap para tersangka pun semestinya tidak seperti memperlakukan kebanyakan pelaku kriminalitas lain.
Sampai saat ini sebenarnya saya pribadi masih belum mendapatkan pengetahuan pasti perihal maksud dibalik "aksi" membotaki rambut pelaku tindak kriminal. Namun hal itu bisa jadi dilakukan sebagai upaya untuk "merapikan" penampilan pelaku kejahatan yang sebagian diantaranya seringkali berdandan serampangan, rambut gondrong, dan lain sebagainya sehingga tidak enak dipandang.
Selain itu, maksud membotaki rambut kepala penjahat bisa jadi sebagai bentuk hukuman "kecil" aparat kepada para pelaku kejahatan. Mungkin alasan kedualah yang lebih memungkinkan terkait motif dibalik penggundulan yang dilakukan kepada para tersangka kasus susur sungai yang menewaskan setidaknya 10 siswa SMPN 1 Turi Sleman itu.
Terlepas layak atau tidaknya para tersangka menerima hukuman kecil dari aparat kepolisian ada satu hal menarik yang ingin saya bahas disini. Bahwa ternyata tidak semua pelaku tindak kriminal atau pelanggar hukum akan dibotaki rambut kepalanya pasca ditangkap. Sampai saat inipun saya masih belum menemukan referensi atau Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait hal ini.
Sehingga tidak mengherankan PB PGRI sempat mempermasalahkan perihal SOP seiring tindakan aparat menggunduli para guru yang menjadi tersangka. Mungkin setiap instansi kepolisian pada setiap wilayah memiliki ketentuannya masing-masing terkait bagaimana memperlakukan para tersangka pelanggar hukum.
Namun sepertinya "kebijakan" membotaki rambut kepala tersangka itu tidak berlaku bagi para koruptor atau terpidana kasus korupsi. Padahal kalau boleh membandingkan, koruptor itu lebih jahat dari pencuri, lebih rakus dari perampok, dan lebih kejam dari perampas harta milik orang lain.
Saat pelaku pencurian kelas teri diperlakukan begitu keras dan rambut kepalanya dibotaki, hal itu tidak lantas berlaku juga bagi para tersangka korupsi. Mereka terkesan sebagai sosok yang santun disatu sisi, padahal disisi yang lain mereka adalah koruptor yang culas.
Jika para guru yang ditetapkan sebagai tersangka digunduli kepalanya karena telah lalai dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia, maka tindakan korupsi pun bisa menyebabkan "efek" serupa namun lebih "halus" lagi. Karena korupsi pada dasarnya adalah merenggut hak orang banyak bahkan bisa menjadi pemicu nestapanya hidup banyak orang.
Bahkan seorang mantan calon petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun lalu pernah membuat presentasi yang menampilkan gambar orang bunuh diri dihadapan para anggota dewan. Ia menuturkan kala itu bahwa potret korupsi begitu berimbas parah terhadap kesejahteraan hidup masyarakat.
Dengan efek "kronis" yang rentan ditimbulkannya apakah tidak cukup pantas kiranya para koruptor diperlakukan layaknya pelaku kejahatan berat lain? Bahkan kalau memungkinkan mereka seharusnya digunduli kepalanya saat sudah "resmi" mendapatkan vonis pengadilan sebagai pelaku kejahatan.
Salam hangat,
Agil S Habib
kompasiana.com