ANKARA -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengecam keras kekerasan paling mematikan yang terjadi di ibukota India, New Delhi dalam beberapa waktu terakhir. Setidaknya 32 orang terbunuh dalam bentrokan besar antara Muslim dan Hindu.
"India telah menjadi negara di mana pembantaian tersebar luas. Orang-orang Hindu membantai umat Islam," kata Erdogan dalam pernyataan yang dikutip di Ahvalnews, Jumat (28/2).
Pemerintah New Delhi membantah tuduhan menutup mata terhadap gerombolan masyarakat Hindu yang menyerang umat muslim dan properti milik muslim, termasuk masjid.
Bentrokan kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terluka dimulai pada Senin (24/2). Bentrokan ini terjadi karena undang-undang kewarganegaraan yang disengketakan. UU ini dinilai mempermudah non-muslim mendapatkan kewarganegaraan India, dibandingkan muslim dari negara-negara tetangga.
Turki memang menjadi kritikus paling vokal terhadap kebijakan India di Kashmir. Pada pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York bulan September 2019 lalu, Erdogan mengatakan 8 juta orang hampir terkurung blokade di wilayah tersebut.
Pengkritik Pemerintah Nasionalis Perdana Menteri India, Narendra Modi mengatakan, hukum kewarganegaraan yang ada bias. Ini merupakan langkah lain dalam usaha kampanye mengubah 180 juta Muslim di India menjadi warga negara kelas dua atau bahkan membuat mereka tak memiliki kewarganegaraan. Padahal, India tercatat sebagai negara kedua terbesar populasi umat muslimnya.
Sementara, Perdana Menteri India Narendra Modi pada Rabu meminta masyarakat untuk tenang setelah kerusuhan antara kelompok mayoritas Hindu dan minoritas Islam terjadi dalam beberapa hari terakhir. Kedua kelompok mempersoalkan undang-undang kewarganegaraan kontroversial yang baru disahkan oleh pemerintah.
Kerusuhan antarkelompok itu, menurut seorang dokter, telah menewaskan 20 jiwa dan melukai setidaknya 200 orang. Insiden itu terjadi bersamaan dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, selama dua hari di India.
Usai kerusuhan, anggota kepolisian dan pasukan paramiliter pada Rabu berpatroli di jalanan-jalanan ibu kota dalam jumlah besar. Beberapa wilayah yang terdampak konflik pun ditinggalkan oleh warga.
"Perdamaian dan harmoni adalah inti dari etos kita sebagai warga negara. Saya memohon kepada para saudari dan saudara di Delhi untuk senantiasa menjaga perdamaian dan persaudaraan," kata Modi dalam unggahannya di media sosial Twitter. republika.co.id
"India telah menjadi negara di mana pembantaian tersebar luas. Orang-orang Hindu membantai umat Islam," kata Erdogan dalam pernyataan yang dikutip di Ahvalnews, Jumat (28/2).
Pemerintah New Delhi membantah tuduhan menutup mata terhadap gerombolan masyarakat Hindu yang menyerang umat muslim dan properti milik muslim, termasuk masjid.
Bentrokan kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terluka dimulai pada Senin (24/2). Bentrokan ini terjadi karena undang-undang kewarganegaraan yang disengketakan. UU ini dinilai mempermudah non-muslim mendapatkan kewarganegaraan India, dibandingkan muslim dari negara-negara tetangga.
Turki memang menjadi kritikus paling vokal terhadap kebijakan India di Kashmir. Pada pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York bulan September 2019 lalu, Erdogan mengatakan 8 juta orang hampir terkurung blokade di wilayah tersebut.
Pengkritik Pemerintah Nasionalis Perdana Menteri India, Narendra Modi mengatakan, hukum kewarganegaraan yang ada bias. Ini merupakan langkah lain dalam usaha kampanye mengubah 180 juta Muslim di India menjadi warga negara kelas dua atau bahkan membuat mereka tak memiliki kewarganegaraan. Padahal, India tercatat sebagai negara kedua terbesar populasi umat muslimnya.
Sementara, Perdana Menteri India Narendra Modi pada Rabu meminta masyarakat untuk tenang setelah kerusuhan antara kelompok mayoritas Hindu dan minoritas Islam terjadi dalam beberapa hari terakhir. Kedua kelompok mempersoalkan undang-undang kewarganegaraan kontroversial yang baru disahkan oleh pemerintah.
Kerusuhan antarkelompok itu, menurut seorang dokter, telah menewaskan 20 jiwa dan melukai setidaknya 200 orang. Insiden itu terjadi bersamaan dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, selama dua hari di India.
Usai kerusuhan, anggota kepolisian dan pasukan paramiliter pada Rabu berpatroli di jalanan-jalanan ibu kota dalam jumlah besar. Beberapa wilayah yang terdampak konflik pun ditinggalkan oleh warga.
"Perdamaian dan harmoni adalah inti dari etos kita sebagai warga negara. Saya memohon kepada para saudari dan saudara di Delhi untuk senantiasa menjaga perdamaian dan persaudaraan," kata Modi dalam unggahannya di media sosial Twitter. republika.co.id