Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qadari memberikan pernyataannya terkait susunan Kabinet Indonesia Maju yang diisi mayoritas oleh para politisi.
Qadari menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak salah menempatkan para politisi di jajaran kabinet.
Sebab, dalam melaksanakan tugas sebagai presiden, Jokowi tak dapat terlepas dari dukungan partai politik (parpol).
Hal itu disampaikan Qadari dalam tayangan 'SATU MEJA' yang diunggah channel YouTube KOMPASTV, Jumat (1/11/2019).
Qadari mengungkapkan, pemerintahan Jokowi selalu dibandingkan dengan era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden ke-2 RI, Soeharto.
"Sebetulnya cara kita melihat presiden dalam menyusun kabinet sangat bias Orde Baru," ucap Qadari.
"Cara kita lihat kabinet itu metode atau cara yang digunakan Pak Harto, zaman Pak Harto itu kan kita selalu memuji ya."
Tak hanya dari gaya kepemimpinan, kini susunan kabinet Jokowi pun juga turut menjadi bahan perbandingan dengan era Soeharto.
"Selalu dibandingkan kabinet itu dengan zaman Pak Harto, Pak Harto itu dulu pilih orang yang betul-betul hebat, tokcer, para teknokrat, para orang yang berkompeten," kata Qadari.
Qadari lantas menjelaskan perbedaan zaman pemerintahan Soeharto dengan Jokowi.
Ia menyinggung tentang sistem pemerintahan otoriter di zaman Soeharto.
"Jangan lupa Pak Harto itu jaman sistem otoriter, Pak Harto itu satu-satunya kekuatan politik yang mengatasi kekuatan politik yang ada pada saat itu," ujar Qadari.
Qadari juga menyebutkan bahwa dulu Soeharto tak memerlukan dukungan parpol untuk bisa menjadi presiden.
"Di atas semuanya, jadi sebetulnya Pak Harto memiliki kekuasaan yang luar biasa untuk menunjuk siapa pun menjadi menteri dan tanpa harus peduli, katakan lah dukungan politiknya," ujar Qadari.
Dengan sistem pemerintahan tang berbeda, kini presiden disebutnya akan kesulitan mendapat penilaian yang baik, terutama terkait susunan kabinet.
"Sekarang jauh dari pada itu, siapapun presiden akan sulit mendapat skor yang tinggi dalam penilaian susunan kabinet," ucap Qadari.
"Karena realitas politik kita sekarang menurut saya adalah sebuah realitas politik multipartai, di mana seorang presiden itu harus mendapatkan dukungan politik dari partai politik."
Ia lantas menyinggung tentang susunan kabinet Jokowi yang banyak diisi oleh politisi.
"Alhasil, Pak Jokowi sudah mengatakan dari awal bahwa susunan kabinet saya (Jokowi) 55 profesional, 45 persen partai politik," ucap Qadari.
Lebih lanjut Qadari menyebutkan, kini susunan kabinet sudah mendapat campur tangan parpol.
"Artinya apa, jangan berharap kepada Pak Jokowi menentukan 100 persen siapa menterinya," ujar Qadari.
"Karena separuh menteri itu datangnya dari kantong para ketua umum partai politik."
Ia menyebut bahwa siapapun presidennya, campur tangan partai politik akan selalu ada dalam susunan kabinet.
Qadari lantas menyinggung Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, Menteri Kominikasi dan Informatika, Johnny G Plate, hingga Pakar Tata Negara, Refly Harun.
"Tidak bisa, mau presidennya Mardani Ali Sera, mau presidennya Johnny Plate, bahkan kalau presidennya seorang Refly Harun saya kira dia akan merevisi sendiri tweet-nya itu nanti," ucap Qadari.
"Karena dia tidak bisa menjalankan pemerintahan jika dia tidak mendapatkan dukungan dari partai politik."
[tribunnews]
Qadari menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak salah menempatkan para politisi di jajaran kabinet.
Sebab, dalam melaksanakan tugas sebagai presiden, Jokowi tak dapat terlepas dari dukungan partai politik (parpol).
Hal itu disampaikan Qadari dalam tayangan 'SATU MEJA' yang diunggah channel YouTube KOMPASTV, Jumat (1/11/2019).
Qadari mengungkapkan, pemerintahan Jokowi selalu dibandingkan dengan era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden ke-2 RI, Soeharto.
"Sebetulnya cara kita melihat presiden dalam menyusun kabinet sangat bias Orde Baru," ucap Qadari.
"Cara kita lihat kabinet itu metode atau cara yang digunakan Pak Harto, zaman Pak Harto itu kan kita selalu memuji ya."
Tak hanya dari gaya kepemimpinan, kini susunan kabinet Jokowi pun juga turut menjadi bahan perbandingan dengan era Soeharto.
"Selalu dibandingkan kabinet itu dengan zaman Pak Harto, Pak Harto itu dulu pilih orang yang betul-betul hebat, tokcer, para teknokrat, para orang yang berkompeten," kata Qadari.
Qadari lantas menjelaskan perbedaan zaman pemerintahan Soeharto dengan Jokowi.
Ia menyinggung tentang sistem pemerintahan otoriter di zaman Soeharto.
"Jangan lupa Pak Harto itu jaman sistem otoriter, Pak Harto itu satu-satunya kekuatan politik yang mengatasi kekuatan politik yang ada pada saat itu," ujar Qadari.
Qadari juga menyebutkan bahwa dulu Soeharto tak memerlukan dukungan parpol untuk bisa menjadi presiden.
"Di atas semuanya, jadi sebetulnya Pak Harto memiliki kekuasaan yang luar biasa untuk menunjuk siapa pun menjadi menteri dan tanpa harus peduli, katakan lah dukungan politiknya," ujar Qadari.
Dengan sistem pemerintahan tang berbeda, kini presiden disebutnya akan kesulitan mendapat penilaian yang baik, terutama terkait susunan kabinet.
"Sekarang jauh dari pada itu, siapapun presiden akan sulit mendapat skor yang tinggi dalam penilaian susunan kabinet," ucap Qadari.
"Karena realitas politik kita sekarang menurut saya adalah sebuah realitas politik multipartai, di mana seorang presiden itu harus mendapatkan dukungan politik dari partai politik."
Ia lantas menyinggung tentang susunan kabinet Jokowi yang banyak diisi oleh politisi.
"Alhasil, Pak Jokowi sudah mengatakan dari awal bahwa susunan kabinet saya (Jokowi) 55 profesional, 45 persen partai politik," ucap Qadari.
Lebih lanjut Qadari menyebutkan, kini susunan kabinet sudah mendapat campur tangan parpol.
"Artinya apa, jangan berharap kepada Pak Jokowi menentukan 100 persen siapa menterinya," ujar Qadari.
"Karena separuh menteri itu datangnya dari kantong para ketua umum partai politik."
Ia menyebut bahwa siapapun presidennya, campur tangan partai politik akan selalu ada dalam susunan kabinet.
Qadari lantas menyinggung Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, Menteri Kominikasi dan Informatika, Johnny G Plate, hingga Pakar Tata Negara, Refly Harun.
"Tidak bisa, mau presidennya Mardani Ali Sera, mau presidennya Johnny Plate, bahkan kalau presidennya seorang Refly Harun saya kira dia akan merevisi sendiri tweet-nya itu nanti," ucap Qadari.
"Karena dia tidak bisa menjalankan pemerintahan jika dia tidak mendapatkan dukungan dari partai politik."
[tribunnews]