Polisi antihuru hara Irak melepaskan tembakan ke arah massa demonstran saat melakukan unjuk rasa di ibu kota Baghdad. Sejumlah saksi mengatakan dua sampai sepuluh orang tewas serta melukai ratusan orang lainnya.
Mereka melakukan aksi unjuk rasa karena protes meningkatnya pengangguran, kurangnya pasokan listrik dan air bersih, serta korupsi di tubuh pemerintahan Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi.
Selain melepas tembakan, polisi juga melepaskan granat setrum dan peluru karet untuk menghentikan para demonstran di atas jembatan di Sungai Tigris menuju zona hijau dari Tahrir Square.
Sebagai informasi, zona hijau adalah sebutan untuk wilayah atau komplek pemerintahan dan kedutaan besar asing. Mengutip situs Aljazeera, Rabu, 2 Oktober 2019, aksi unjuk rasa berawal dari informasi yang disebar lewat media sosial.
Para demonstran lalu berkumpul di Tahrir Square sambil meneriakkan slogan-slogan antipemerintah.
Polisi antihuru hara mencoba untuk membubarkan mereka, namun para demonstran yang sebagian besar dari kalangan muda atau milenial dan beberapa di antaranya menutup wajah dengan syal, tidak bergeming dan menanggapinya dengan melemparkan batu ke polisi.
Kerusuhan pun pecah. Suara tembakan yang berasal dari senapan mesin terdengar di seluruh ibu kota. Bahkan sampai menjelang malam tiba. Jalan-jalan utama ditutup oleh polisi dan tentara. Jelang tengah malam tembakan tidak lagi terdengar.
Kejadian ini merupakan kekerasan sipil terburuk yang pernah terjadi selama bertahun-tahun di ibu kota Irak. Meskipun warga telah terbiasa mendengar ledakan bom yang sebelumnya sudah jarang terjadi sejak 2016.
Sementara itu, melansir situs Independent, seorang dokter di Medical City, sebuah kompleks rumah sakit terdekat, mengatakan ia telah melihat empat mayat, tetapi jumlah total orang yang meninggal yang dirawat di rumah sakitnya paling sedikit sepuluh orang.
Angka tersebut dikonfirmasi dari catatan malam itu oleh penasihat pemerintah, mengutip sistem berita rahasia yang digunakan oleh pejabat pemerintah yang ia akses.
Lalu, sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan Irak, yang mengatakan 2 orang tewas serta 200 lainnya mengalami luka-luka, termasuk 40 anggota polisi di Baghdad dan kota-kota lain.
"Kami sangat menyesali terjadinya kekerasan dalam aksi unjuk rasa di Baghdad dan beberapa kota lainnya yang dilakukan oleh 'sekelompok perusuh'. Rakyat harus tenang dan menahan diri," demikian keterangan resmi bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan Irak.
Tahun ini juga terjadi sejumlah aksi protes massa terhadap kurangnya pasokan listrik dan kurangnya lahan pekerjaan yang memuncak pada tahun lalu di Basra di mana para pengunjuk rasa mengambil alih kota.
Aksi demonstrasi yang terjadi di Baghdad masuk dalam skala kecil, menurut standard keamanan Irak sekitar tiga ribu orang, tetapi reaksi berlebihan pihak keamanan dapat menyebabkan gelombang demonstrasi baru dalam beberapa hari ke depan.
Aksi penembakan polisi terhadap para demonstran dalam aksi unjuk rasa ini dapat memicu krisis bagi Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi, yang kepemimpinannya telah bertahan lebih lama dari yang diperkirakan.
Mahdi telah berada di bawah tekanan karena memecat komandan tentara yang populer dan kepala Dinas Anti Teror, Letnan Jenderal Abdul-Wahab al-Saadi. Ia dianggap oleh banyak rakyat Irak sebagai pahlawan militer setelah mengalahkan ISIS dalam pengepungan selama sembilan bulan di Mosul yang berakhir pada 2017. viva.co.id
Mereka melakukan aksi unjuk rasa karena protes meningkatnya pengangguran, kurangnya pasokan listrik dan air bersih, serta korupsi di tubuh pemerintahan Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi.
Selain melepas tembakan, polisi juga melepaskan granat setrum dan peluru karet untuk menghentikan para demonstran di atas jembatan di Sungai Tigris menuju zona hijau dari Tahrir Square.
Sebagai informasi, zona hijau adalah sebutan untuk wilayah atau komplek pemerintahan dan kedutaan besar asing. Mengutip situs Aljazeera, Rabu, 2 Oktober 2019, aksi unjuk rasa berawal dari informasi yang disebar lewat media sosial.
Para demonstran lalu berkumpul di Tahrir Square sambil meneriakkan slogan-slogan antipemerintah.
Polisi antihuru hara mencoba untuk membubarkan mereka, namun para demonstran yang sebagian besar dari kalangan muda atau milenial dan beberapa di antaranya menutup wajah dengan syal, tidak bergeming dan menanggapinya dengan melemparkan batu ke polisi.
Kerusuhan pun pecah. Suara tembakan yang berasal dari senapan mesin terdengar di seluruh ibu kota. Bahkan sampai menjelang malam tiba. Jalan-jalan utama ditutup oleh polisi dan tentara. Jelang tengah malam tembakan tidak lagi terdengar.
Kejadian ini merupakan kekerasan sipil terburuk yang pernah terjadi selama bertahun-tahun di ibu kota Irak. Meskipun warga telah terbiasa mendengar ledakan bom yang sebelumnya sudah jarang terjadi sejak 2016.
Sementara itu, melansir situs Independent, seorang dokter di Medical City, sebuah kompleks rumah sakit terdekat, mengatakan ia telah melihat empat mayat, tetapi jumlah total orang yang meninggal yang dirawat di rumah sakitnya paling sedikit sepuluh orang.
Angka tersebut dikonfirmasi dari catatan malam itu oleh penasihat pemerintah, mengutip sistem berita rahasia yang digunakan oleh pejabat pemerintah yang ia akses.
Lalu, sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan Irak, yang mengatakan 2 orang tewas serta 200 lainnya mengalami luka-luka, termasuk 40 anggota polisi di Baghdad dan kota-kota lain.
"Kami sangat menyesali terjadinya kekerasan dalam aksi unjuk rasa di Baghdad dan beberapa kota lainnya yang dilakukan oleh 'sekelompok perusuh'. Rakyat harus tenang dan menahan diri," demikian keterangan resmi bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan Irak.
Tahun ini juga terjadi sejumlah aksi protes massa terhadap kurangnya pasokan listrik dan kurangnya lahan pekerjaan yang memuncak pada tahun lalu di Basra di mana para pengunjuk rasa mengambil alih kota.
Aksi demonstrasi yang terjadi di Baghdad masuk dalam skala kecil, menurut standard keamanan Irak sekitar tiga ribu orang, tetapi reaksi berlebihan pihak keamanan dapat menyebabkan gelombang demonstrasi baru dalam beberapa hari ke depan.
Aksi penembakan polisi terhadap para demonstran dalam aksi unjuk rasa ini dapat memicu krisis bagi Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi, yang kepemimpinannya telah bertahan lebih lama dari yang diperkirakan.
Mahdi telah berada di bawah tekanan karena memecat komandan tentara yang populer dan kepala Dinas Anti Teror, Letnan Jenderal Abdul-Wahab al-Saadi. Ia dianggap oleh banyak rakyat Irak sebagai pahlawan militer setelah mengalahkan ISIS dalam pengepungan selama sembilan bulan di Mosul yang berakhir pada 2017. viva.co.id