Peneliti politik Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University di Canberra, Australia, menyebut saat ini demokrasi Indonesia sedang berada di titik terendahnya. Kepemimpinan Presiden Joko Widodo kemudian disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dari kemunduran terbesar demokrasi di Indonesia di masa reformasi ini.
Meski Jokowi telah menyatakan sikap untuk menjaga demokrasi, pernyataan tersebut dinilai bertolak belakang dengan beragam kebijakan kontroversial yang lahir di masa pemerintahannya. Belum lagi tindakan represif aparat pemerintah terhadap massa demonstran dan jurnalis yang menuai sorotan karena dianggap antidemokrasi.
Juwita Hayyuning Prastiwi, dosen ilmu politik dari Universitas Brawijaya, memaparkan kemunduran demokrasi Indonesia tersebut di laman The Conversation. Ia menuliskan, blunder yang dilakukan Jokowi sehingga memancing kemarahan publik berawal ketika dirinya mendukung pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keputusan tersebut dianggap akan melemahkan lembaga tersebut dalam memberantas kasus-kasus korupsi di Indonesia. Tak hanya itu, banyak pihak juga menentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai mengandung sejumlah pasal karet.
Rakyat pun tak tinggal diam dengan melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota untuk menolak revisi UU KPK dan RKUHP. Namun aksi tersebut berakhir ricuh dengan aksi pengrusakan dari para peserta demonstrasi dan tindakan represif pemerintah.
Dua orang mahasiswa harus kehilangan nyawanya setelah bentrok dengan polisi. Peristiwa nahas tersebut terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Persis seperti saat aksi demonstrasi yang menuntut Orde Baru dihapuskan pada 1998 silam, kali ini pemerintah juga mengincar sejumlah aktivis untuk ditangkap dan ditahan. Pemerintah bahkan tak segan akan melayangkan sanksi tegas kepada universitas yang memberikan izin mahasiswanya terlibat unjuk rasa.
Anggota kepolisian berjaga saat sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus menggelar demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kebijakan antidemokrasi di era kepemimpinan Jokowi
"Sinyal-sinyal anti-demokrasi dari Jokowi sebenarnya sudah muncul jauh sebelum peristiwa di atas," tulis Juwita.
Hal itu, menurutnya, bisa dilihat sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dan Peraturan Presiden (perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia. Kedua beleid itu menyumbang pelemahan atas demokrasi, demikian menurut Juwita.
Perppu tentang ormas tersebut lantas digunakan sebagai senjata pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap mengancam kesatuan NKRI. Walau benar secara substansi, rupanya prosedur yang digunakan pemerintah dikritisi karena telah mengeliminasi proses peradilan.
Demikian pula dengan perpres terkait jabatan TNI yang dianggap berbenturan dengan undang-undang (UU) serta semangat reformasi. Kekhawatiran masyarakat sipil memuncak bukan tanpa sebab. Di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi perangkat otoritarianisme terbukti melahirkan banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan melanggengkan kekuasaan.
Penangkapan pendukung Prabowo Subianto, yang tak lain merupakan lawan politik Jokowi pada Pemilu Presiden April 2019 lalu, juga menjadi isu antidemokrasi yang turut disorot publik. Mereka yang kemudian ditangkap dengan tuduhan makar adalah Advokat Eggi Sudjana dan pensiunan jenderal Kivlan Zen.
"Tuduhan makar seperti ini belum pernah dilakukan di masa pemerintahan pasca reformasi, kecuali pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenjarakan aktivis Filep Karma karena mendukung kemerdekaan Papua Barat," beber Juwita.
Yang menyedihkan, pada era pemerintahan Jokowi, tercatat ada banyak aktivis yang dikriminalisasi. Nama-nama seperti Veronika Koman, Dhandy Dwi Laksono, hingga Ananda Badudu menjadi incaran pemerintah. Veronika dituduh melakukan provokasi atas insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Sementara Dandhy dijadikan tersangka karena konten tentang Papua yang ia unggah di akun Twitter miliknya. Terakhir, mantan wartawan Tempo Ananda Badudu juga sempat ditahan karena menggalang dana untuk mendukung demonstrasi mahasiswa pada 23 dan 24 September 2019.
Ananda Badudu usai jalani pemeriksaan di Resmob Polda Metro Jaya. Foto: Raga Imam/kumparan
Status demokrasi Indonesia
Berdasarkan indeks demokrasi yang dimuat The Economist Intellegence Unit, demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018. Dalam indeks tersebut, demokrasi Indonesia menempati kategori tidak sempurna (flawed democracy).
Status tersebut memiliki arti, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil dasar, akan tetapi memiliki beberapa persoalan yang meliputi pelanggaran kebebasan pers serta pesoalan tata kelola pemerintahan.
Data dari Badan Pusat Statistik pada 2018 juga menunjukkan bahwa Indonesia juga mengalami penurunan pada indeks aspek kebebasan sipil sebesar 0,29 poin. Aspek hak-hak politik turun sebesar 0,84 poin dibandingkan tahun 2017.
Kompak melemahkan demokrasi
Yang menjadikan kondisi saat ini semakin parah, menurut Juwita, adalah para elite politik, baik yang berada di kubu pemerintah maupun oposisi, terlihat semakin kompak dalam melemahkan demokrasi.
Dukungan politik pada seluruh RUU dan UU yang kontroversial menyebar ke fraksi partai-partai yang mulanya berseberangan dengan pemerintah. Dengan demikian, tidak ada penolakan dari kubu oposisi terkait RUU dan UU yang dibahas di DPR. Dengan kata lain, seluruh fraksi telah menyepakatinya.
Mengamankan demokrasi
Demokrasi yang bersifat dinamis, sangat bergantung pada aktor-aktor seperti aktor pemerintahan hingga masyarakat sipil. Angka indeks demokrasi Indonesia yang kini terus menurun setiap tahun seharusnya menjadi peringatan.
Menurut Juwita, demokrasi yang berada di ujung tanduk harus segera diselamatkan tidak hanya melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui kontrol politik yang terbuka agar kecenderungan tirani mayoritas dapat ditekan. kumparan.com
Meski Jokowi telah menyatakan sikap untuk menjaga demokrasi, pernyataan tersebut dinilai bertolak belakang dengan beragam kebijakan kontroversial yang lahir di masa pemerintahannya. Belum lagi tindakan represif aparat pemerintah terhadap massa demonstran dan jurnalis yang menuai sorotan karena dianggap antidemokrasi.
Juwita Hayyuning Prastiwi, dosen ilmu politik dari Universitas Brawijaya, memaparkan kemunduran demokrasi Indonesia tersebut di laman The Conversation. Ia menuliskan, blunder yang dilakukan Jokowi sehingga memancing kemarahan publik berawal ketika dirinya mendukung pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keputusan tersebut dianggap akan melemahkan lembaga tersebut dalam memberantas kasus-kasus korupsi di Indonesia. Tak hanya itu, banyak pihak juga menentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai mengandung sejumlah pasal karet.
Rakyat pun tak tinggal diam dengan melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota untuk menolak revisi UU KPK dan RKUHP. Namun aksi tersebut berakhir ricuh dengan aksi pengrusakan dari para peserta demonstrasi dan tindakan represif pemerintah.
Dua orang mahasiswa harus kehilangan nyawanya setelah bentrok dengan polisi. Peristiwa nahas tersebut terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Persis seperti saat aksi demonstrasi yang menuntut Orde Baru dihapuskan pada 1998 silam, kali ini pemerintah juga mengincar sejumlah aktivis untuk ditangkap dan ditahan. Pemerintah bahkan tak segan akan melayangkan sanksi tegas kepada universitas yang memberikan izin mahasiswanya terlibat unjuk rasa.
Anggota kepolisian berjaga saat sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus menggelar demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kebijakan antidemokrasi di era kepemimpinan Jokowi
"Sinyal-sinyal anti-demokrasi dari Jokowi sebenarnya sudah muncul jauh sebelum peristiwa di atas," tulis Juwita.
Hal itu, menurutnya, bisa dilihat sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dan Peraturan Presiden (perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia. Kedua beleid itu menyumbang pelemahan atas demokrasi, demikian menurut Juwita.
Perppu tentang ormas tersebut lantas digunakan sebagai senjata pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap mengancam kesatuan NKRI. Walau benar secara substansi, rupanya prosedur yang digunakan pemerintah dikritisi karena telah mengeliminasi proses peradilan.
Demikian pula dengan perpres terkait jabatan TNI yang dianggap berbenturan dengan undang-undang (UU) serta semangat reformasi. Kekhawatiran masyarakat sipil memuncak bukan tanpa sebab. Di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi perangkat otoritarianisme terbukti melahirkan banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan melanggengkan kekuasaan.
Penangkapan pendukung Prabowo Subianto, yang tak lain merupakan lawan politik Jokowi pada Pemilu Presiden April 2019 lalu, juga menjadi isu antidemokrasi yang turut disorot publik. Mereka yang kemudian ditangkap dengan tuduhan makar adalah Advokat Eggi Sudjana dan pensiunan jenderal Kivlan Zen.
"Tuduhan makar seperti ini belum pernah dilakukan di masa pemerintahan pasca reformasi, kecuali pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenjarakan aktivis Filep Karma karena mendukung kemerdekaan Papua Barat," beber Juwita.
Yang menyedihkan, pada era pemerintahan Jokowi, tercatat ada banyak aktivis yang dikriminalisasi. Nama-nama seperti Veronika Koman, Dhandy Dwi Laksono, hingga Ananda Badudu menjadi incaran pemerintah. Veronika dituduh melakukan provokasi atas insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Sementara Dandhy dijadikan tersangka karena konten tentang Papua yang ia unggah di akun Twitter miliknya. Terakhir, mantan wartawan Tempo Ananda Badudu juga sempat ditahan karena menggalang dana untuk mendukung demonstrasi mahasiswa pada 23 dan 24 September 2019.
Ananda Badudu usai jalani pemeriksaan di Resmob Polda Metro Jaya. Foto: Raga Imam/kumparan
Status demokrasi Indonesia
Berdasarkan indeks demokrasi yang dimuat The Economist Intellegence Unit, demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018. Dalam indeks tersebut, demokrasi Indonesia menempati kategori tidak sempurna (flawed democracy).
Status tersebut memiliki arti, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil dasar, akan tetapi memiliki beberapa persoalan yang meliputi pelanggaran kebebasan pers serta pesoalan tata kelola pemerintahan.
Data dari Badan Pusat Statistik pada 2018 juga menunjukkan bahwa Indonesia juga mengalami penurunan pada indeks aspek kebebasan sipil sebesar 0,29 poin. Aspek hak-hak politik turun sebesar 0,84 poin dibandingkan tahun 2017.
Kompak melemahkan demokrasi
Yang menjadikan kondisi saat ini semakin parah, menurut Juwita, adalah para elite politik, baik yang berada di kubu pemerintah maupun oposisi, terlihat semakin kompak dalam melemahkan demokrasi.
Dukungan politik pada seluruh RUU dan UU yang kontroversial menyebar ke fraksi partai-partai yang mulanya berseberangan dengan pemerintah. Dengan demikian, tidak ada penolakan dari kubu oposisi terkait RUU dan UU yang dibahas di DPR. Dengan kata lain, seluruh fraksi telah menyepakatinya.
Mengamankan demokrasi
Demokrasi yang bersifat dinamis, sangat bergantung pada aktor-aktor seperti aktor pemerintahan hingga masyarakat sipil. Angka indeks demokrasi Indonesia yang kini terus menurun setiap tahun seharusnya menjadi peringatan.
Menurut Juwita, demokrasi yang berada di ujung tanduk harus segera diselamatkan tidak hanya melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui kontrol politik yang terbuka agar kecenderungan tirani mayoritas dapat ditekan. kumparan.com