Ombudsman RI menemukan empat tindakan maladministrasi yang dilakukan Polri dalam penanganan unjuk rasa yang berujung rusuh pada 21-22 Mei 2019. Temuan itu menegaskan lagi jika kebrutalan polisi dalam menangani unjuk rasa memang nyata dan terstruktur.
"Ombudsman minta jangan lagi terulang lagi penanggulangan demo dan kerusugan seperti ini sampai jatuh korban luka bahkan meninggal dunia. Perbaikan secara sistemik di internal Polri antara lain revisi kebijakan, profesional anggota, transparansi kinerja, itu yang kami tuju dalam laporan ini," kata anggota Ombudsman Ninik Rahayu di kantornya pada Kamis (10/10/2019).
Dalam laporan itu Ombudsman menemukan ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat. Selain itu, aparat juga disebut melakukan penyimpangan prosedur, tidak kompeten pada perencanaan, dan plotting pasukan. Ombudsman juga menemukan maladministrasi dalam cara bertindak Polri, serta proses hukum terhadap tersangka dan barang bukti.
Kesimpulan itu bukan tanpa dasar. Ninik menyebut polisi tidak memiliki laporan yang efektif terkait penggunaan senjata dan alat-alat kepolisian lainnya. "Kita tahu semua pada 21-22 [Mei] itu ada penggunaan senjata ada penggunaan alat-alat kepolisian," kata Ninik.
Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian menjelaskan ada tahapan-tahapan dalam tindakan kepolisian.
Tahap 1 ialah pencegahan; tahap 2 berupa perintah lisan; tahap 3 ialah kendali tangan kosong lunak; tahap 4 adalah kendali tangan kosong keras; tahap 5 adalah kendali benda tumpul dan senjata kimia seperti gas air mata; terakhir tahap 6 ialah dengan senjata api.
Pemilihan tahap-tahap itu harus berdasar pada tingkat ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka.
Di pasal 14 ayat 3 pun diterangkan, penggunaan kekuatan pada tahap 4, tahap 5, dan tahap 6 harus dilaporkan secara tertulis melalui formulir yang terlampir dalam Perkap dengan segera.
Formulir itu mengandung informasi antata lain tanggal dan tempat kejadian; uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sehingga memerlukan tindakan kepolisian; alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan; rincian kekuatan yang digunakan; evaluasi hasil penggunaan kekuatan; dan akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.
"Dalam temuan kami laporan sebagai bagian dari upaya melakukan evaluasi dan pengawasan tidak dilakukan secara efektif sehingga ada penyimpangan prosedur," kata Niniek.
Ombudsman sendiri telah memanggil perwakilan Polri terkait temuan itu. Namun, kata Ninik, Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Moechgiyarto menolak laporan itu. Ninik menyayangkan penolakan itu. Ia pun berencana menyampaikan langsung temuannya ke Kapolri.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengaku tak kaget dengan temuan Ombudsman. Menurutnya itu membuktikan jika pelanggaran oleh kepolisian bahkan menyentuh aspek administrasi.
Ketiadaan laporan penggunaan kekuatan membuktikan Polri tak serius melakukan evaluasi terhadap personelnya. Isnur berpendapat jika polisi memang serius melakukan pembenahan justru laporan itu yang mestinya jadi titik awal. Para pemegang komando dalam aksi pun harusnya ketat terkait kewajiban pelaporan tersebut.
"Jadi ini semacam kebijakan lembaga bukan kesalahan individual," kata Isnur saat dihubungi pada Jumat (11/10/2019).
Selanjutnya, laporan Ombudsman itu akan jadi masukan bagi Komisi Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam melakukan investigas terkait 21-22 Mei. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengaku tengah mendalami apakah kekerasan yang dilakukan aparat dalam aksi 21-22 Mei adalah ulah oknum belaka atau memang terkomando.
Sejauh ini Komnas telah meminta keterangan Kapolres Jakarta Barat, dan Polda Metro Jaya. Mereka juga mengunjungi rumah tahanan Polda Metro Jaya. Namun Beka masih enggan mengungkap temuan mereka.
"Belum bisa disimpulkan," kata Beka di kantornya pada Jumat (11/10/2019).
Sewenang-Wenang Terhadap Anak
Dalam laporannya, Ombudsman juga menyoroti penanganan perkara yang melibatkan anak-anak. Menurutnya, anak-anak mestinya diproses oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sebagaimana amanat undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Namun nyatanya anak-anak yang ditangkap dalam aksi 21-23 Mei banyak yang ditangani di unit Resmob.
Dalam proses investigasi Ombudsman, kata Ninik, polisi berdalih bahwa Unit Resmob juga memiliki penyidik yang bersertifikat penyidik anak.
"Tapi kita harus kembali kepada SOP dan aturannya. Memang bukan Resmob yang ditunjuk [dalam UU SPPA]. Bukan soal sertifikasi personal tapi unit khusus yang memang ditunjuk dalam rangka penanganan perempuan dan anak," kata Niniek.
Jika memang unit PPA sudah penuh dan harus ditangani di unit Resmob semestinya ada surat penunjukkan terlebih dahulu. Nyatanya surat itu pun tidak ada.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengungkap laporan Ombudsman itu senada dengan laporan lembaganya. KPAI sebelumnya telah menemukan anak-anak yang ditangkap dalam aksi 21-23 Mei diproses dengan hukum acara biasa.
Tak cuma itu, dari sekitar 64 anak yang didampingi KPAI kebanyakan mereka jadi korban kekerasan fisik dan mental.
"Menurut pengakuan anak dan asesmen yang dilakukan oleh pendamping, anak-anak kita mengalami kekerasan," kata Jasra saat dihubungi Tirto pada Jumat (11/10/2019).
Tirto bersama CNNIndonesia TV dan Jaring.id sebelumnya juga pernah mengabarkan soal dugaan penyiksaan terhadap anak oleh kepolisian dalam aksi 21-22 Mei. Orang tua Andika (16 tahun) mengaku tidak dapat mengenali anaknya saat ditemui di Polda Metro Jaya. Andika ditahan di bawah wewenang Subdirektorat Reserse Brigade Mobil Polda Metro dalam satu ruangan bersama orang-orang dewasa karena dituduh sebagai "perusuh".
“Hidungnya berdarah. Di kepalanya, darahnya ngucur.” kata Nana, ibu Andika kepada kolaborasi.
Nana mendekap erat putranya yang tak henti-henti meminta maaf karena tak lekas pulang. Di punggung anaknya, Nana menemukan bekas pecutan.
Andika bercerita ia diseret oleh dua polisi tanpa seragam di dekat Rusun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia lantas dibawa ke Gedung Bawaslu di bilangan Thamrin. Di lokasi itu polisi-polisi memukulnya—"ada lebih dari 20 polisi"—dengan tangan kosong, pentungan, gagang senjata laras panjang, hingga ditendang dengan sepatu laras.
Dimas (14 tahun) juga mengaku seorang polisi menyorongkan ujung kabel putih kepadanya saat diinterogasi. Pangkal kabel itu dicolokkan ke arus listrik. Ia diancam akan disetrum. Polisi juga memaksanya berjalan jongkok, dia pun tak luput dari terjangan kaki dan kepalan aparat.
Selain Andika dan Dimas, anak lain yang menjadi korban adalah Tama (17 tahun). Ia menahan sakit lantaran pinggang kanannya terluka peluru karet. Namun polisi bergeming dan tetap menyeretnya ke Polsek Metro Gambir. Dia mengaku direndam di kolam ikan bersama 30 orang lain selama 4 jam.
Tak kuasa menahan perih, ia melaporkan luka di pinggangnya. Bukannya memperoleh pengobatan seorang polisi malah menendang luka itu. Saat dikonfirmasi Kapolsek Metro Gambir AKBP Yohanes membantah ada tindak kekerasan tersebut.
Kepala Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengaku tak tahu soal penanganan di luar prosedur terhadap anak-anak. Menurutnya proses hukum terhadap anak sudah selesai.
"Temuan [penanganan di luar prosedur] yang mana? Kami tunggu dulu temuannya," jata Argo pada 19 Juli 2019.
Kapolda Metro Jaya Gatot Eddy Pramono mengklaim penyidikan terhadap anak terkait aksi 21-23 Mei sudah dilakukan secara profesional. Kendati anak-anak itu tidak ditangani unit PPA, tapi Gatot mengaku penangannya tetap di bawah koordinasi unit tersebut.
"Kami melakukan proses diversi. Sudah tuntas semua," ujar Gatot. tirto.id
"Ombudsman minta jangan lagi terulang lagi penanggulangan demo dan kerusugan seperti ini sampai jatuh korban luka bahkan meninggal dunia. Perbaikan secara sistemik di internal Polri antara lain revisi kebijakan, profesional anggota, transparansi kinerja, itu yang kami tuju dalam laporan ini," kata anggota Ombudsman Ninik Rahayu di kantornya pada Kamis (10/10/2019).
Dalam laporan itu Ombudsman menemukan ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat. Selain itu, aparat juga disebut melakukan penyimpangan prosedur, tidak kompeten pada perencanaan, dan plotting pasukan. Ombudsman juga menemukan maladministrasi dalam cara bertindak Polri, serta proses hukum terhadap tersangka dan barang bukti.
Kesimpulan itu bukan tanpa dasar. Ninik menyebut polisi tidak memiliki laporan yang efektif terkait penggunaan senjata dan alat-alat kepolisian lainnya. "Kita tahu semua pada 21-22 [Mei] itu ada penggunaan senjata ada penggunaan alat-alat kepolisian," kata Ninik.
Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian menjelaskan ada tahapan-tahapan dalam tindakan kepolisian.
Tahap 1 ialah pencegahan; tahap 2 berupa perintah lisan; tahap 3 ialah kendali tangan kosong lunak; tahap 4 adalah kendali tangan kosong keras; tahap 5 adalah kendali benda tumpul dan senjata kimia seperti gas air mata; terakhir tahap 6 ialah dengan senjata api.
Pemilihan tahap-tahap itu harus berdasar pada tingkat ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka.
Di pasal 14 ayat 3 pun diterangkan, penggunaan kekuatan pada tahap 4, tahap 5, dan tahap 6 harus dilaporkan secara tertulis melalui formulir yang terlampir dalam Perkap dengan segera.
Formulir itu mengandung informasi antata lain tanggal dan tempat kejadian; uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sehingga memerlukan tindakan kepolisian; alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan; rincian kekuatan yang digunakan; evaluasi hasil penggunaan kekuatan; dan akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.
"Dalam temuan kami laporan sebagai bagian dari upaya melakukan evaluasi dan pengawasan tidak dilakukan secara efektif sehingga ada penyimpangan prosedur," kata Niniek.
Ombudsman sendiri telah memanggil perwakilan Polri terkait temuan itu. Namun, kata Ninik, Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Moechgiyarto menolak laporan itu. Ninik menyayangkan penolakan itu. Ia pun berencana menyampaikan langsung temuannya ke Kapolri.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengaku tak kaget dengan temuan Ombudsman. Menurutnya itu membuktikan jika pelanggaran oleh kepolisian bahkan menyentuh aspek administrasi.
Ketiadaan laporan penggunaan kekuatan membuktikan Polri tak serius melakukan evaluasi terhadap personelnya. Isnur berpendapat jika polisi memang serius melakukan pembenahan justru laporan itu yang mestinya jadi titik awal. Para pemegang komando dalam aksi pun harusnya ketat terkait kewajiban pelaporan tersebut.
"Jadi ini semacam kebijakan lembaga bukan kesalahan individual," kata Isnur saat dihubungi pada Jumat (11/10/2019).
Selanjutnya, laporan Ombudsman itu akan jadi masukan bagi Komisi Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam melakukan investigas terkait 21-22 Mei. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengaku tengah mendalami apakah kekerasan yang dilakukan aparat dalam aksi 21-22 Mei adalah ulah oknum belaka atau memang terkomando.
Sejauh ini Komnas telah meminta keterangan Kapolres Jakarta Barat, dan Polda Metro Jaya. Mereka juga mengunjungi rumah tahanan Polda Metro Jaya. Namun Beka masih enggan mengungkap temuan mereka.
"Belum bisa disimpulkan," kata Beka di kantornya pada Jumat (11/10/2019).
Sewenang-Wenang Terhadap Anak
Dalam laporannya, Ombudsman juga menyoroti penanganan perkara yang melibatkan anak-anak. Menurutnya, anak-anak mestinya diproses oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sebagaimana amanat undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Namun nyatanya anak-anak yang ditangkap dalam aksi 21-23 Mei banyak yang ditangani di unit Resmob.
Dalam proses investigasi Ombudsman, kata Ninik, polisi berdalih bahwa Unit Resmob juga memiliki penyidik yang bersertifikat penyidik anak.
"Tapi kita harus kembali kepada SOP dan aturannya. Memang bukan Resmob yang ditunjuk [dalam UU SPPA]. Bukan soal sertifikasi personal tapi unit khusus yang memang ditunjuk dalam rangka penanganan perempuan dan anak," kata Niniek.
Jika memang unit PPA sudah penuh dan harus ditangani di unit Resmob semestinya ada surat penunjukkan terlebih dahulu. Nyatanya surat itu pun tidak ada.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengungkap laporan Ombudsman itu senada dengan laporan lembaganya. KPAI sebelumnya telah menemukan anak-anak yang ditangkap dalam aksi 21-23 Mei diproses dengan hukum acara biasa.
Tak cuma itu, dari sekitar 64 anak yang didampingi KPAI kebanyakan mereka jadi korban kekerasan fisik dan mental.
"Menurut pengakuan anak dan asesmen yang dilakukan oleh pendamping, anak-anak kita mengalami kekerasan," kata Jasra saat dihubungi Tirto pada Jumat (11/10/2019).
Tirto bersama CNNIndonesia TV dan Jaring.id sebelumnya juga pernah mengabarkan soal dugaan penyiksaan terhadap anak oleh kepolisian dalam aksi 21-22 Mei. Orang tua Andika (16 tahun) mengaku tidak dapat mengenali anaknya saat ditemui di Polda Metro Jaya. Andika ditahan di bawah wewenang Subdirektorat Reserse Brigade Mobil Polda Metro dalam satu ruangan bersama orang-orang dewasa karena dituduh sebagai "perusuh".
“Hidungnya berdarah. Di kepalanya, darahnya ngucur.” kata Nana, ibu Andika kepada kolaborasi.
Nana mendekap erat putranya yang tak henti-henti meminta maaf karena tak lekas pulang. Di punggung anaknya, Nana menemukan bekas pecutan.
Andika bercerita ia diseret oleh dua polisi tanpa seragam di dekat Rusun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia lantas dibawa ke Gedung Bawaslu di bilangan Thamrin. Di lokasi itu polisi-polisi memukulnya—"ada lebih dari 20 polisi"—dengan tangan kosong, pentungan, gagang senjata laras panjang, hingga ditendang dengan sepatu laras.
Dimas (14 tahun) juga mengaku seorang polisi menyorongkan ujung kabel putih kepadanya saat diinterogasi. Pangkal kabel itu dicolokkan ke arus listrik. Ia diancam akan disetrum. Polisi juga memaksanya berjalan jongkok, dia pun tak luput dari terjangan kaki dan kepalan aparat.
Selain Andika dan Dimas, anak lain yang menjadi korban adalah Tama (17 tahun). Ia menahan sakit lantaran pinggang kanannya terluka peluru karet. Namun polisi bergeming dan tetap menyeretnya ke Polsek Metro Gambir. Dia mengaku direndam di kolam ikan bersama 30 orang lain selama 4 jam.
Tak kuasa menahan perih, ia melaporkan luka di pinggangnya. Bukannya memperoleh pengobatan seorang polisi malah menendang luka itu. Saat dikonfirmasi Kapolsek Metro Gambir AKBP Yohanes membantah ada tindak kekerasan tersebut.
Kepala Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengaku tak tahu soal penanganan di luar prosedur terhadap anak-anak. Menurutnya proses hukum terhadap anak sudah selesai.
"Temuan [penanganan di luar prosedur] yang mana? Kami tunggu dulu temuannya," jata Argo pada 19 Juli 2019.
Kapolda Metro Jaya Gatot Eddy Pramono mengklaim penyidikan terhadap anak terkait aksi 21-23 Mei sudah dilakukan secara profesional. Kendati anak-anak itu tidak ditangani unit PPA, tapi Gatot mengaku penangannya tetap di bawah koordinasi unit tersebut.
"Kami melakukan proses diversi. Sudah tuntas semua," ujar Gatot. tirto.id