Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly mengundurkan diri dari kabinet kerja karena akan dilantik sebagai anggota DPR pada tanggal 1 Oktober 2019.
Surat pengunduran diri sudah ia ajukan kepada Presiden Joko Widodo per 27 September 2019.
Berdasarkan laporan Kompas.com, Jumat (27/9/2019), dalam surat itu ia juga menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan rangkap jabatan sebagai anggota DPR dan menteri sesuai dengan pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008.
Selama menjabat sebagai menkumham dalam kabinet kerja ada banyak hal kontroversial yang dilakukan oleh Yasonna. Berikut 4 kontroversi Yasonna selama menjabat sebagai menkumham:
1. Sebut aktris Dian Sastro bodoh
Berdasarkan laporan Kompas.com, Selasa (24/9/2019), Yassona menyebut Dian tidak membaca Undang Undang sebelum berkomentar sehingga terlihat bodoh.
Pernyataan tersebut Yasonna lontarkan kepada sebuah media online untuk menanggapi unggahan Dian di Instagram story mengenai revisi KUHP.
Saat itu, Dian sebenarnya mengunggah tulisan Tunggal P yang mengkritik beberapa pasal di RKUHP.
Baca juga: Sepak Terjang Yasonna Laoly, dari Politisi, Menkumham hingga Guru Besar Kriminologi
2. Tolak usulan rombak ulang RKUHP
Yasonna menolak usulan dari sejumlah pihak yang meminta revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibatalkan dan disusun ulang.
Menurutnya, draf revisi KUHP tidak perlu dirombak dan disusun ulang karena RKUHP yang ada saat ini sudah mengalami perjalanan panjang selama puluhan tahun demi menggantikan KUHP warisan Belanda.
"Untuk mengatakan, kamu ulang kembali ini, ah no way! Sampai lebaran kuda enggak akan jadi ini barang," kata Yasonna di Kantor Kemenkumham, mengutip laporan Kompas.com, Rabu (25/9/2019).
Ia juga berdalih heterogenitas masyarakat Indonesia membuat rancangan KUHP tidak mungkin disetujui dan sesuai dengan seluruh kelompok masyarakat.
Seperti yang kita ketahui, sejumlah pasal dalam RUU-KUHP menimbulkan kontroversi publik hingga demo besar-besaran pun terjadi pada Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019).
3. Setujui pembebasan bersyarat napi korupsi
Dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), DPR dan Pemerintah sepakat mempermudah pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi.
Padahal, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa pengajuan pembebasan bersyarat napi koruptor membutuhkan justice collaborator dan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengana adanya pasal tersebut, pembebasan bersyarat napi koruptor tidak lagi membutuhkan justice collaborator dan rekomendasi dari KPK.
Menanggpi hal ini, Yasonna justru mengatakan pembatasan hak narapidana kasus korupsi dalam mengajukan pembebasan bersyarat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Bebas bersyarat itu kan hak, pembatasan hak harus melalui undang-undang begitu, ya. Pokoknya setiap orang punya hak. (pembatasan) itu melanggar hak asasi," ujar Yasonna, mengutip laporan Kompas.com, Rabu (18/9/2019).
Ia juga mengatakan, pada dasarnya pembatasan hak terhadap narapidana hanya bisa dilakukan oleh putusan pengadilan dan berdasarkan undang-undang.
4.Tuding aksi mahasiswa ditunggangi
Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019), para mahasiswa berdemonstrasi menyuarakan penolakan pengesahan RKUHP karena ada beberapa pasal yang dianggap kontroversial.
Mereka juga meminta Undang-Undang KPK hasil revisi dibatalkan.
Berdasarkan laporan Kompas.com, Selasa (24/9/2019), aksi mahasiswa menuntut pembatalan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sejumlah undang-undang ditunggangi pihak tertentu.
Namun, Yasonna tak merinci siapa pihak tertentu yang dia maksud.
Ia juga menyatakan, jika para mahasiswa mau bertanya, bahkan berdebat tentang RUU, sebaiknya tinggal datang ke DPR atau dirinya.
Yasonna menyatakan, jika para mahasiswa mau bertanya, bahkan berdebat tentang RUU, sebaiknya tinggal datang ke DPR atau dirinya.
"Jangan terbawa oleh agenda-agenda politik yang enggak benar. Kalau mau debat, kalau mau bertanya tentang RUU, mbok ya datang ke DPR, datang ke saya, bukan merobohkan pagar," ujar Yasonna, mengutip laporan Kompas.com, Selasa (24/9/2019).
Di sisi lain, mahasiswa membantah aksi demonstrasi yang dilakukan ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Mereka juga menolak tuduhan bahwa demonstrasi dilakukan untuk melengserkan Presiden Jokowi atau berupaya menggagalkan pelantikannya.
Pihak mahasiswa mengaku tak punya kepentingan selain menyuarakan aspirasi menolak revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, serta mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Tuntutan kami jelas, RUU KPK dan RKUHP dibatalkan karena RUU itu bermasalah dan tidak sesuai dengan reformasi. Kan enggak ada tuntutan turunkan Jokowi," kata Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Gregorius Anco. kompas.com
Surat pengunduran diri sudah ia ajukan kepada Presiden Joko Widodo per 27 September 2019.
Berdasarkan laporan Kompas.com, Jumat (27/9/2019), dalam surat itu ia juga menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan rangkap jabatan sebagai anggota DPR dan menteri sesuai dengan pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008.
Selama menjabat sebagai menkumham dalam kabinet kerja ada banyak hal kontroversial yang dilakukan oleh Yasonna. Berikut 4 kontroversi Yasonna selama menjabat sebagai menkumham:
1. Sebut aktris Dian Sastro bodoh
Berdasarkan laporan Kompas.com, Selasa (24/9/2019), Yassona menyebut Dian tidak membaca Undang Undang sebelum berkomentar sehingga terlihat bodoh.
Pernyataan tersebut Yasonna lontarkan kepada sebuah media online untuk menanggapi unggahan Dian di Instagram story mengenai revisi KUHP.
Saat itu, Dian sebenarnya mengunggah tulisan Tunggal P yang mengkritik beberapa pasal di RKUHP.
Baca juga: Sepak Terjang Yasonna Laoly, dari Politisi, Menkumham hingga Guru Besar Kriminologi
2. Tolak usulan rombak ulang RKUHP
Yasonna menolak usulan dari sejumlah pihak yang meminta revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibatalkan dan disusun ulang.
Menurutnya, draf revisi KUHP tidak perlu dirombak dan disusun ulang karena RKUHP yang ada saat ini sudah mengalami perjalanan panjang selama puluhan tahun demi menggantikan KUHP warisan Belanda.
"Untuk mengatakan, kamu ulang kembali ini, ah no way! Sampai lebaran kuda enggak akan jadi ini barang," kata Yasonna di Kantor Kemenkumham, mengutip laporan Kompas.com, Rabu (25/9/2019).
Ia juga berdalih heterogenitas masyarakat Indonesia membuat rancangan KUHP tidak mungkin disetujui dan sesuai dengan seluruh kelompok masyarakat.
Seperti yang kita ketahui, sejumlah pasal dalam RUU-KUHP menimbulkan kontroversi publik hingga demo besar-besaran pun terjadi pada Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019).
3. Setujui pembebasan bersyarat napi korupsi
Dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), DPR dan Pemerintah sepakat mempermudah pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi.
Padahal, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa pengajuan pembebasan bersyarat napi koruptor membutuhkan justice collaborator dan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengana adanya pasal tersebut, pembebasan bersyarat napi koruptor tidak lagi membutuhkan justice collaborator dan rekomendasi dari KPK.
Menanggpi hal ini, Yasonna justru mengatakan pembatasan hak narapidana kasus korupsi dalam mengajukan pembebasan bersyarat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Bebas bersyarat itu kan hak, pembatasan hak harus melalui undang-undang begitu, ya. Pokoknya setiap orang punya hak. (pembatasan) itu melanggar hak asasi," ujar Yasonna, mengutip laporan Kompas.com, Rabu (18/9/2019).
Ia juga mengatakan, pada dasarnya pembatasan hak terhadap narapidana hanya bisa dilakukan oleh putusan pengadilan dan berdasarkan undang-undang.
4.Tuding aksi mahasiswa ditunggangi
Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019), para mahasiswa berdemonstrasi menyuarakan penolakan pengesahan RKUHP karena ada beberapa pasal yang dianggap kontroversial.
Mereka juga meminta Undang-Undang KPK hasil revisi dibatalkan.
Berdasarkan laporan Kompas.com, Selasa (24/9/2019), aksi mahasiswa menuntut pembatalan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sejumlah undang-undang ditunggangi pihak tertentu.
Namun, Yasonna tak merinci siapa pihak tertentu yang dia maksud.
Ia juga menyatakan, jika para mahasiswa mau bertanya, bahkan berdebat tentang RUU, sebaiknya tinggal datang ke DPR atau dirinya.
Yasonna menyatakan, jika para mahasiswa mau bertanya, bahkan berdebat tentang RUU, sebaiknya tinggal datang ke DPR atau dirinya.
"Jangan terbawa oleh agenda-agenda politik yang enggak benar. Kalau mau debat, kalau mau bertanya tentang RUU, mbok ya datang ke DPR, datang ke saya, bukan merobohkan pagar," ujar Yasonna, mengutip laporan Kompas.com, Selasa (24/9/2019).
Di sisi lain, mahasiswa membantah aksi demonstrasi yang dilakukan ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Mereka juga menolak tuduhan bahwa demonstrasi dilakukan untuk melengserkan Presiden Jokowi atau berupaya menggagalkan pelantikannya.
Pihak mahasiswa mengaku tak punya kepentingan selain menyuarakan aspirasi menolak revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, serta mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Tuntutan kami jelas, RUU KPK dan RKUHP dibatalkan karena RUU itu bermasalah dan tidak sesuai dengan reformasi. Kan enggak ada tuntutan turunkan Jokowi," kata Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Gregorius Anco. kompas.com