Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi menyambangi kantor Komnas HAM di Jl Latuharhary, Jakarta, Rabu (2/10). Tim melaporkan adanya tindakan represif yang diduga dilakukan aparat kepolisian dalam mengamankan aksi demonstrasi di kawasan gedung DPR RI.
"Catatannya, tindakan represif ini sudah mengarah ke brutalitas juga. Ketika tenaga medis itu juga ikut ditangkap kemudian ambulansnya dirusak," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, di lokasi.
Tindakan aparat itu, kata Arif, bisa dilihat dari upaya membubarkan massa aksi hingga melakukan sweeping penangkapan. Bahkan, tak sedikit massa yang akhirnya dilarikan ke rumah sakit.
Laporan kepada Komnas HAM ini dibuat berdasarkan pantauan aksi yang dilakukan pada 24, 25, 30 September dan 1 Oktober. Adapun bukti yang disertakan merupakan rekaman-rekaman video yang menunjukkan tindakan aparat yang represif.
"Di Universitas Atma Jaya, bahkan pos evakuasi bagi mahasiswa saja ditembaki gas air mata. Maka sebenarnya standar apa yang dilakukan oleh aparat ini? Seharusnya kemerdekaan menyampaikan pendapat dilindungi oleh negara," ungkapnya.
Selain adanya dugaan tindakan represif, tim advokasi juga menyoroti adanya dugaan upaya menghalang-halangi akses bantuan hukum bagi demonstran yang ditangkap.
Bahkan hingga saat ini, pihak kepolisian dianggap hanya menyampaikan jumlah demonstran yang ditangkap namun tak merinci penyebab penangkapan dilakukan.
"Kepolisian mestinya menginformasikan ini. Sehingga ada akses publik untuk mendapatkan informasi itu. Sejak tanggal 24 September sampai sekarang akses ini relatif ditutup," kata anggota tim advokasi lainnya, Era Purnamasari, di kesempatan yang sama.
Dengan sejumlah temuan itu, tim advokasi meminta Komnas HAM untuk turun langsung menginvestigasi adanya dugaan-dugaan tersebut dalam aksi massa dari tanggal 24 September hingga 1 Oktober di sekitar DPR.
Komnas HAM Menindaklanjuti
Menanggapi adanya aduan tersebut, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, menyebut akan menindaklanjuti. Bahkan sebelum ada laporan, kata dia, sudah ada komunikasi dan komitmen bersama dengan Polda Metro Jaya untuk membangun posko bantuan bagi keluarga demonstran yang ditangkap.
"Di posko itu untuk memudahkan orang untuk mengakses, baik keluarga maupun pendampingnya. Berikutnya kami mendorong dilepas enggak perlu lagi ada proses hukum," kata Choirul.
"Kenapa? Kecuali emang orang-orang yang terbukti sebagai penyusup dalam aksi mahasiswa, karena kami yakin aksi mahasiswa yang menyerukan tentang perubahan undang-undang tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak damai. Bahwa (pembuat) bom molotov itu emang perlu ditangkap," pungkas Choirul. kumparan.com
"Catatannya, tindakan represif ini sudah mengarah ke brutalitas juga. Ketika tenaga medis itu juga ikut ditangkap kemudian ambulansnya dirusak," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, di lokasi.
Tindakan aparat itu, kata Arif, bisa dilihat dari upaya membubarkan massa aksi hingga melakukan sweeping penangkapan. Bahkan, tak sedikit massa yang akhirnya dilarikan ke rumah sakit.
Laporan kepada Komnas HAM ini dibuat berdasarkan pantauan aksi yang dilakukan pada 24, 25, 30 September dan 1 Oktober. Adapun bukti yang disertakan merupakan rekaman-rekaman video yang menunjukkan tindakan aparat yang represif.
"Di Universitas Atma Jaya, bahkan pos evakuasi bagi mahasiswa saja ditembaki gas air mata. Maka sebenarnya standar apa yang dilakukan oleh aparat ini? Seharusnya kemerdekaan menyampaikan pendapat dilindungi oleh negara," ungkapnya.
Selain adanya dugaan tindakan represif, tim advokasi juga menyoroti adanya dugaan upaya menghalang-halangi akses bantuan hukum bagi demonstran yang ditangkap.
Bahkan hingga saat ini, pihak kepolisian dianggap hanya menyampaikan jumlah demonstran yang ditangkap namun tak merinci penyebab penangkapan dilakukan.
"Kepolisian mestinya menginformasikan ini. Sehingga ada akses publik untuk mendapatkan informasi itu. Sejak tanggal 24 September sampai sekarang akses ini relatif ditutup," kata anggota tim advokasi lainnya, Era Purnamasari, di kesempatan yang sama.
Dengan sejumlah temuan itu, tim advokasi meminta Komnas HAM untuk turun langsung menginvestigasi adanya dugaan-dugaan tersebut dalam aksi massa dari tanggal 24 September hingga 1 Oktober di sekitar DPR.
Komnas HAM Menindaklanjuti
Menanggapi adanya aduan tersebut, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, menyebut akan menindaklanjuti. Bahkan sebelum ada laporan, kata dia, sudah ada komunikasi dan komitmen bersama dengan Polda Metro Jaya untuk membangun posko bantuan bagi keluarga demonstran yang ditangkap.
"Di posko itu untuk memudahkan orang untuk mengakses, baik keluarga maupun pendampingnya. Berikutnya kami mendorong dilepas enggak perlu lagi ada proses hukum," kata Choirul.
"Kenapa? Kecuali emang orang-orang yang terbukti sebagai penyusup dalam aksi mahasiswa, karena kami yakin aksi mahasiswa yang menyerukan tentang perubahan undang-undang tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak damai. Bahwa (pembuat) bom molotov itu emang perlu ditangkap," pungkas Choirul. kumparan.com