Jakarta -Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan tindakan represif pihak kepolisian dalam menghadapi massa saat demonstrasi di DPR RI, lebih brutal ketimbang saat menghadapi massa kerusuhan 22 Mei 2019 lalu.
"Kami kecewa tindakan represif kepolisian yang menangani massa. Saya kali ini melihatnya lebih buruk dari 22 Mei," kata Taufan saat dihubungi Jumat malam, 4 Oktober 2019.
Kerusuhan 22 Mei di sekitar gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta Pusat, dipicu massa pendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang kecewa terhadap hasil Pemilu Presiden 2019. Massa yang berdemo saat itu menuding adanya kecurangan dalam kemenangan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin pada pemilu kemarin.
Taufan melihat polisi tidak mampu menahan diri dalam menghadapi massa mahasiswa dan siswa STM dalam gelombang demo di DPR. Menurut dia, tindakan represif polisi saat demo mahasiswa lebih buruk ketimbang saat 22 Mei, karena perbedaan pemicunya.
"Kalau kerusuhan 21-22 Mei kan ada insiden-insidennya. Kalau ini (kerusuhan unjuk rasa mahasiswa) kan tidak," ujarnya.
Taufan mengaku cemas melihat tindakan polisi yang sangat agresif kepada pendemo mahasiswa dan siswa STM. "Terutama kejadian yang di Kendari. Kok tiba-tiba terjadi seperti itu (penembakan yang menyebabkan mahasiswa tewas)."
Komnas menilai ada pelanggaran HAM yang dilakukan polisi terhadap massa yang melakukan unjuk rasa di sekitar gedung DPR. "Kami akan menyelidikinya. Untuk yang di Kendari, tim kami akan turun Senin besok."
Menurut dia, mahasiswa mempunyai hak untuk melakukan untuk memperjuangkan agar Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dibatalkan. Mahasiswa melakukan unjuk rasa lantaran menganggap UU KPK yang telah disahkan tersebut bisa memperlemah lembaga anti rasuah itu.
"Saya kira itu memang hak atas aspirasi mereka. Dalam prinsip hak asassi bahkan polisi semestinya wajib memberikan perlindungan kepada mereka," demikian Ketua Komnas HAM tersebut. metro.tempo.co
"Kami kecewa tindakan represif kepolisian yang menangani massa. Saya kali ini melihatnya lebih buruk dari 22 Mei," kata Taufan saat dihubungi Jumat malam, 4 Oktober 2019.
Kerusuhan 22 Mei di sekitar gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta Pusat, dipicu massa pendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang kecewa terhadap hasil Pemilu Presiden 2019. Massa yang berdemo saat itu menuding adanya kecurangan dalam kemenangan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin pada pemilu kemarin.
Taufan melihat polisi tidak mampu menahan diri dalam menghadapi massa mahasiswa dan siswa STM dalam gelombang demo di DPR. Menurut dia, tindakan represif polisi saat demo mahasiswa lebih buruk ketimbang saat 22 Mei, karena perbedaan pemicunya.
"Kalau kerusuhan 21-22 Mei kan ada insiden-insidennya. Kalau ini (kerusuhan unjuk rasa mahasiswa) kan tidak," ujarnya.
Taufan mengaku cemas melihat tindakan polisi yang sangat agresif kepada pendemo mahasiswa dan siswa STM. "Terutama kejadian yang di Kendari. Kok tiba-tiba terjadi seperti itu (penembakan yang menyebabkan mahasiswa tewas)."
Komnas menilai ada pelanggaran HAM yang dilakukan polisi terhadap massa yang melakukan unjuk rasa di sekitar gedung DPR. "Kami akan menyelidikinya. Untuk yang di Kendari, tim kami akan turun Senin besok."
Menurut dia, mahasiswa mempunyai hak untuk melakukan untuk memperjuangkan agar Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dibatalkan. Mahasiswa melakukan unjuk rasa lantaran menganggap UU KPK yang telah disahkan tersebut bisa memperlemah lembaga anti rasuah itu.
"Saya kira itu memang hak atas aspirasi mereka. Dalam prinsip hak asassi bahkan polisi semestinya wajib memberikan perlindungan kepada mereka," demikian Ketua Komnas HAM tersebut. metro.tempo.co