Jakarta - Seorang anggota kepolisian tiba-tiba menghajar Muhammad Dzaki Izza Romadhon, salah seorang mahasiswa yang ikut unjuk rasa di DPR pada 30 September 2019. "Saat itu saya sedang berlindung di rumah penduduk di Palmerah," kata Dzaki menceritakan ulang kejadian itu pada Tempo, Rabu, 9 Oktober 2019.
Dzaki menuturkan, hari itu ia sempat mengikuti unjuk rasa di DPR. Namun, sekitar pukul 20.00 WIB, ia memutuskan pulang. Tiba-tiba, ketika sedang berjalan di sekitar Pasar Palmerah, ada tembakan gas air mata ke arah massa yang memang berkumpul di sekitar area itu.
Mahasiswa Binus ini pun kemudian mencari perlindungan di salah seorang rumah pendiuduk. Tak lama, anggota Brimob mendobrak masuk.
"Saya ditarik dari belakang. Saya dibanting, dipukuli, disikut di dalam rumah. Ditendang. Setelah saya lemas baru dibawa ke jalan raya. Lalu saya dihjar pakai helm dan ada yang menggunakan motor menabrak saya," kata Dzaki. Ia mengaku dikeroyok oleh 3-4 anggota Brimob.
Dari daerah Palmerah, Dzaki dibawa menggunakan motor oleh dua anggota Brimob. Dzaki dibawa ke suatu tempat tak jauh dari gedung DPR/MPR bersama sekitar 30 tahanan pelajar dan mahasiswa lainnya. "Kondisinya lebih parah dari saya," kata Dzaki.
Polisi, kata Dzaki, juga sempat menyundut ia dengan besi yang sudah dipanaskan. Dzaki mengaku masih bersyukur atas kondisinya, apalagi setelah melihat tahanan lainnya masih ditendang, dihajar sampai tak sadarkan diri.
Pukul 21.00, puluhan tahanan mahasiswa dan pelajar itu diminta membuka baju dan celana. Semua perlengkapan pribadi seperti telepon genggam, dompet dan kunci kendaraan ditahan aparat. Mereka diminta berjalan jongkok menuju kendaraan polisi untuk dibawa ke Polda Metro Jaya.
Pukul 22.00, para tahanan diminta masuk ke ruangan unit 3. "Di situ, mungkin polisi kesal, jadi kita dikata-katain goblok, bangsat, anjing, bego, semua kata kasar keluar," katanya.
Sesaat setelahnya, Dzaki diminta untuk membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dia diminta mengaku melempar batu dan merusak fasilitas umum.
"Buktiin kalau ada CCTV saya melempar. Saya bilang saya enggak anarkis, memilok, merusak pagar, gedung DPR, enggak lempar batu ke aparat. Saya cuma ikut nyanyi, teriak, dan pulang." katanya.
BAP itu selesai pukul 03.00 dini hari, Selasa 1 Oktober 2019. Dzaki baru diperbolehkan menghubungi keluarganya pukul 05.00 pagi, namun belum ada jawaban.
Sesaat setelahnya, polisi berusaha menghubungi Ibu Dzaki, Yeni Sri Handayani, untuk diminta datang ke Polda. Dalam sambungan telepon, Dzaki mendengar Polisi melaporkan kondisi Dzaki dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. "Sehat dari mana?" katanya sambil sedikit tertawa.
Setibanya di Polda pukul 10.00 WIB, Yeni malah diping-pong mencari keberadaan anaknya. Yeni khawatir, pikirannya tak karuan. Ketika mengetahui keberadaan anak bungsunya, dia diminta menunggu bersama orang tua lainnya hingga Maghrib.
Tahanan pelajar dan mahasiswa dikumpulkan di musola pukul 18.00 untuk membaca surat Yassin bersama-sama serta mendengarkan tausiyah dari seorang ustad. "Saya lihat Dzaki. Waktu dia nengok, waduh lebam-lebam," kata Yeni.
Dzaki bersama beberapa tahanan akhirnya baru dibebaskan pukul 21.00. Yeni langsung membawa anaknya menuju rumah sakit agar diperiksa keadaannya. Mahasiswa angkatan 2018 itu mengaku tak merasa sakit.
"Fisik kalau laki-laki masih bisa ditahan. Tapi kalau mental itu diserang banget. Yang lain pada nangis. Saya kasihan. Saya enggak mikirin saya sendiri tapi saya mikirin yang lain. Saya kasihan yang STM, mental sih kena," katanya.
Yeni menyesali dan tak terima atas apa yang terjadi pada anaknya. Dia menyebut sumpah aparat mengayomi masyarakat tak ada artinya. "Yang tadinya saya menghormati polisi, ya enggak simpatik sama sekali," kata Ibu 59 tahun itu.
Dzaki pun tak muluk-muluk. Ketika ditanya harapannya pasca dikeroyok, dia hanya ingin bertanya pada aparat mengapa dirinya dipukuli meski tak berbuat anarkis. "Kalau polisi bisa kasih alasan jelas saya terima saya salah. Tapi kalau enggak bisa ya tolong dipakai lah otaknya. Jangan fisik doang. Mereka bilang tolong ubah pola pikirnya, tapi tolonglah kalian ngaca," kata Dzaki. nasional.tempo.co
Dzaki menuturkan, hari itu ia sempat mengikuti unjuk rasa di DPR. Namun, sekitar pukul 20.00 WIB, ia memutuskan pulang. Tiba-tiba, ketika sedang berjalan di sekitar Pasar Palmerah, ada tembakan gas air mata ke arah massa yang memang berkumpul di sekitar area itu.
Mahasiswa Binus ini pun kemudian mencari perlindungan di salah seorang rumah pendiuduk. Tak lama, anggota Brimob mendobrak masuk.
"Saya ditarik dari belakang. Saya dibanting, dipukuli, disikut di dalam rumah. Ditendang. Setelah saya lemas baru dibawa ke jalan raya. Lalu saya dihjar pakai helm dan ada yang menggunakan motor menabrak saya," kata Dzaki. Ia mengaku dikeroyok oleh 3-4 anggota Brimob.
Dari daerah Palmerah, Dzaki dibawa menggunakan motor oleh dua anggota Brimob. Dzaki dibawa ke suatu tempat tak jauh dari gedung DPR/MPR bersama sekitar 30 tahanan pelajar dan mahasiswa lainnya. "Kondisinya lebih parah dari saya," kata Dzaki.
Polisi, kata Dzaki, juga sempat menyundut ia dengan besi yang sudah dipanaskan. Dzaki mengaku masih bersyukur atas kondisinya, apalagi setelah melihat tahanan lainnya masih ditendang, dihajar sampai tak sadarkan diri.
Pukul 21.00, puluhan tahanan mahasiswa dan pelajar itu diminta membuka baju dan celana. Semua perlengkapan pribadi seperti telepon genggam, dompet dan kunci kendaraan ditahan aparat. Mereka diminta berjalan jongkok menuju kendaraan polisi untuk dibawa ke Polda Metro Jaya.
Pukul 22.00, para tahanan diminta masuk ke ruangan unit 3. "Di situ, mungkin polisi kesal, jadi kita dikata-katain goblok, bangsat, anjing, bego, semua kata kasar keluar," katanya.
Sesaat setelahnya, Dzaki diminta untuk membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dia diminta mengaku melempar batu dan merusak fasilitas umum.
"Buktiin kalau ada CCTV saya melempar. Saya bilang saya enggak anarkis, memilok, merusak pagar, gedung DPR, enggak lempar batu ke aparat. Saya cuma ikut nyanyi, teriak, dan pulang." katanya.
BAP itu selesai pukul 03.00 dini hari, Selasa 1 Oktober 2019. Dzaki baru diperbolehkan menghubungi keluarganya pukul 05.00 pagi, namun belum ada jawaban.
Sesaat setelahnya, polisi berusaha menghubungi Ibu Dzaki, Yeni Sri Handayani, untuk diminta datang ke Polda. Dalam sambungan telepon, Dzaki mendengar Polisi melaporkan kondisi Dzaki dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. "Sehat dari mana?" katanya sambil sedikit tertawa.
Setibanya di Polda pukul 10.00 WIB, Yeni malah diping-pong mencari keberadaan anaknya. Yeni khawatir, pikirannya tak karuan. Ketika mengetahui keberadaan anak bungsunya, dia diminta menunggu bersama orang tua lainnya hingga Maghrib.
Tahanan pelajar dan mahasiswa dikumpulkan di musola pukul 18.00 untuk membaca surat Yassin bersama-sama serta mendengarkan tausiyah dari seorang ustad. "Saya lihat Dzaki. Waktu dia nengok, waduh lebam-lebam," kata Yeni.
Dzaki bersama beberapa tahanan akhirnya baru dibebaskan pukul 21.00. Yeni langsung membawa anaknya menuju rumah sakit agar diperiksa keadaannya. Mahasiswa angkatan 2018 itu mengaku tak merasa sakit.
"Fisik kalau laki-laki masih bisa ditahan. Tapi kalau mental itu diserang banget. Yang lain pada nangis. Saya kasihan. Saya enggak mikirin saya sendiri tapi saya mikirin yang lain. Saya kasihan yang STM, mental sih kena," katanya.
Yeni menyesali dan tak terima atas apa yang terjadi pada anaknya. Dia menyebut sumpah aparat mengayomi masyarakat tak ada artinya. "Yang tadinya saya menghormati polisi, ya enggak simpatik sama sekali," kata Ibu 59 tahun itu.
Dzaki pun tak muluk-muluk. Ketika ditanya harapannya pasca dikeroyok, dia hanya ingin bertanya pada aparat mengapa dirinya dipukuli meski tak berbuat anarkis. "Kalau polisi bisa kasih alasan jelas saya terima saya salah. Tapi kalau enggak bisa ya tolong dipakai lah otaknya. Jangan fisik doang. Mereka bilang tolong ubah pola pikirnya, tapi tolonglah kalian ngaca," kata Dzaki. nasional.tempo.co