Anggota Komisi III DPR sekaligus Anggota Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra Muhammad Syafii menganggap Presiden Joko Widodo (Jokowi) sama sekali tak mengerti tentang demokrasi selama menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Dia berkaca dari sikap Jokowi dalam menyikapi sejumlah peristiwa.
Hal itu ia sampaikan untuk merespons pernyataan Jokowi yang berkomitmen untuk menegakkan demokrasi di Indonesia.
"Tapi kok itu masih jadi pilihan rakyat. Kita anggota DPR pernah diancam dijemput paksa, itu terjadi di era Jokowi, siapa bilang dia jaga demokrasi? Jokowi enggak ngerti demokrasi," kata Syafii di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9).
Kritikan keras Syafii lontarkan kepada Jokowi itu bukan tanpa alasan. Dia bercermin pada tindakan represif aparat keamanan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi menolak sejumlah rancangan undang-undang kontroversial belakangan ini.
Salah satunya yakni tewasnya dua mahasiswa dari Universitas Halu Oleo Kendari, Randy (21) dan Yusuf Kardawi (19) usai terlibat bentrok antara mahasiswa dengan polisi di gedung DPRD Sultra.
Syafii juga menyinggung kembali aksi represif aparat keamanan di sekitar Kantor Bawaslu, Jakarta pada 21-22 Mei lalu. Kala itu, banyak masyarakat yang menjadi korban tewas dan ditangkap oleh pihak kepolisian.
Diketahui, Mabes Polri pernah memastikan empat dari sembilan korban jiwa dalam aksi kerusuhan 22 Mei meninggal akibat terkena peluru tajam.
"Kemudian [Jokowi] jaga demokrasi, demokrasi apa yang dijaga? Kebebasan berpendapat? Sejak 21-22 Mei ditembak-tembaki juga. Ditangkapi. Dia menunjukkan arogansi kekuasaan," kata Syafii.
Syafii menegaskan bahwa aksi melakukan demonstrasi merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang. Sudah menjadi kewajiban polisi pula untuk mengawal proses demonstrasi agar berjalan aman.
Bukan sebaliknya dengan bertindak represif terhadap mahasiswa atau elemen masyarakat lain ketika menyampaikan pendapat.
"Ini sikap yg harus dievaluasi oleh pemerintah kita, karena ini sudah abuse of power. Kita ingatkan kepada Kapolri untuk bertindak tegas terhadap anggotanya, harus berpedoman pada perundang-undangan, jangan sikap emosional, karena ini kepentingan bangsa dan negara," kata dia.
Aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah sejak Senin lalu (23/9). Umumnya, massa demonstran menyuarakan penolakan pengesahan RKUHP serta rancangan undang-undang lain yang bermasalah.
Unjuk rasa dilakukan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang, Medan, Palembang, Makassar dan kota lainnya.
Banyak demonstran yang ditangkap. Korban luka pun berjatuhan. Baik dari polisi mau pun kalangan pendemo.
Presiden Jokowi lalu angkat suara. Dalam kesempatan bertemu dengan sejumlah tokoh nasional di Istana Negara, dia meyakinkan bahwa demokrasi akan terus ditegakkan.
"Jangan sampai Bapak, Ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini (menjaga demokrasi)," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (26/9).
Sejauh ini korban tewas dari kalangan mahasiswa juga sudah ada. Mereka adalah mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari Randy (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19) saat bentrok dengan aparat di Kendari pada Kamis.
Hal itu ia sampaikan untuk merespons pernyataan Jokowi yang berkomitmen untuk menegakkan demokrasi di Indonesia.
"Tapi kok itu masih jadi pilihan rakyat. Kita anggota DPR pernah diancam dijemput paksa, itu terjadi di era Jokowi, siapa bilang dia jaga demokrasi? Jokowi enggak ngerti demokrasi," kata Syafii di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9).
Kritikan keras Syafii lontarkan kepada Jokowi itu bukan tanpa alasan. Dia bercermin pada tindakan represif aparat keamanan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi menolak sejumlah rancangan undang-undang kontroversial belakangan ini.
Salah satunya yakni tewasnya dua mahasiswa dari Universitas Halu Oleo Kendari, Randy (21) dan Yusuf Kardawi (19) usai terlibat bentrok antara mahasiswa dengan polisi di gedung DPRD Sultra.
Syafii juga menyinggung kembali aksi represif aparat keamanan di sekitar Kantor Bawaslu, Jakarta pada 21-22 Mei lalu. Kala itu, banyak masyarakat yang menjadi korban tewas dan ditangkap oleh pihak kepolisian.
Diketahui, Mabes Polri pernah memastikan empat dari sembilan korban jiwa dalam aksi kerusuhan 22 Mei meninggal akibat terkena peluru tajam.
"Kemudian [Jokowi] jaga demokrasi, demokrasi apa yang dijaga? Kebebasan berpendapat? Sejak 21-22 Mei ditembak-tembaki juga. Ditangkapi. Dia menunjukkan arogansi kekuasaan," kata Syafii.
Syafii menegaskan bahwa aksi melakukan demonstrasi merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang. Sudah menjadi kewajiban polisi pula untuk mengawal proses demonstrasi agar berjalan aman.
Bukan sebaliknya dengan bertindak represif terhadap mahasiswa atau elemen masyarakat lain ketika menyampaikan pendapat.
"Ini sikap yg harus dievaluasi oleh pemerintah kita, karena ini sudah abuse of power. Kita ingatkan kepada Kapolri untuk bertindak tegas terhadap anggotanya, harus berpedoman pada perundang-undangan, jangan sikap emosional, karena ini kepentingan bangsa dan negara," kata dia.
Aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah sejak Senin lalu (23/9). Umumnya, massa demonstran menyuarakan penolakan pengesahan RKUHP serta rancangan undang-undang lain yang bermasalah.
Unjuk rasa dilakukan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang, Medan, Palembang, Makassar dan kota lainnya.
Banyak demonstran yang ditangkap. Korban luka pun berjatuhan. Baik dari polisi mau pun kalangan pendemo.
Presiden Jokowi lalu angkat suara. Dalam kesempatan bertemu dengan sejumlah tokoh nasional di Istana Negara, dia meyakinkan bahwa demokrasi akan terus ditegakkan.
"Jangan sampai Bapak, Ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini (menjaga demokrasi)," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (26/9).
Sejauh ini korban tewas dari kalangan mahasiswa juga sudah ada. Mereka adalah mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari Randy (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19) saat bentrok dengan aparat di Kendari pada Kamis.