Menjelang masa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 mendatang situasi politik semakin memanas. Hal ini ditengarai bertujuan mengganggu pelantikan. Bahkan belakangan permintaan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundurkan diri semakin disuarakan.
Desakan mundur antaranya disampaikan penceramah Sugi Nur Raharja atau Gus Nur, dalam orasinya di Aksi Mujahid 212, Sabtu (28/9/2019). Dia meminta Presiden Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden. Menurutnya, mundurnya Jokowi yang dinilai tidak baik memimpin Indonesia, akan membuat masyarakat bahagia.
"Kalau mundur sekarang, saya yakin umat, rakyat Indonesia ini, walaupun sesakit-sakitnya hatinya, akan memaafkan," ujar Gus Nur di area Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (28/9/2019).
Gus Nur menyampaikan, sebagai pemimpin negara, Jokowi seharusnya mengedepankan syariat atau nilai-nilai Islam. Pemimpin seharusnya memuliakan tauhid. Indonesia harus secepatnya berpindah ke nilai-nilai tauhid. Hal itu dinilai solusi semua permasalahan bangsa,” paparnya.
Sebelumnya diketahui, ribuan massa dengan atribut-atribut Muslim, memulai long march atau berjalan kaki dari Bundaran HI, Jakarta Pusat, menuju Istana Merdeka, Sabtu (28/9/2019) pagi. Adapun massa yang melakukan aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI, membawa banyak bendera tauhid atau ikrar umat Islam terhadap Allah SWT.
Protes Mahasiswa
Sementara itu, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berbagai daerah di Indonesia, kompak melakukan aksi turun jalan sejak Senin (23/9/2019). Salah satu tuntutan yang disuarakan antara lain agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur dari jabatannya.
Gelombang demonstrasi mahasiswa itu hanya berselang beberapa pekan jelang pelantikan Jokowi sebagai presiden untuk periode keduanya.
Demonstrasi mahasiswa berbagai daerah memprotes rencana pemerintahan Jokowi dan DPR mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang (RUU). Demo digelar serentak di Riau, Samarinda (Kalimantan Timur), Bandung (Jawa Barat), Jakarta, Yogyakarta, Jombang (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), hingga Papua dan wilayah lainnya.
Di Jakarta, misalnya, ribuan mahasiswa berbagai universitas mendemo gedung DPR/MPR/DPD RI di Senayan, menuntut Jokowi turun dari jabatannya.
Tuntutan tersebut bergema pasca disahkannya Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang disetujui oleh Jokowi. Dalam aksi di depan gedung DPR, mahasiswa menyerukan penolakan terhadap RUU KPK.
"Tolak, tolak, tolak RUU (KPK), tolak RUU sekarang juga," seru mahasiswa berjaket hijau tampaknya dari salah satu universitas milik Muhammadiyah.
Sambil berteriak, dengan penuh semangat mahasiswa membentangkan spanduk bertuliskan 'Save KPK'.
"Tak kurang 7 ribuan (massa)," ujar salah seorang aktivis yang turut hadir di lokasi.
"Kami (Mahasiswa, red) menuntut turunkan Jokowi," tambahnya.
Ada Dalang
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, menduga, ada pihak-pihak yang mengatur seiring maraknya aksi unjuk rasa yang kerap terjadi. Tujuannya, kata dia, agar situasi perpolitikan nasional menjadi kacau.
"Saya melihat ada setting-an untuk membuat kondisi politik tidak teratur, kacau. Apabila terjadi instabilitas politik otomatis merugikan Jokowi. Targetnya adalah untuk mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo," katanya di Jakarta, Minggu (29/9/2019).
Pangi yang juga menjabat sebagai Direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini mengatakan, masalah yang dihadapi oleh pemerintah tentu begitu kompleks. Sementara di sisi lain, Jokowi sendiri terkesan tidak punya sikap tegas.
"Begitu kompleks masalahnya, sementara Jokowi enggak punya sikap. Mulai kabut asap, konflik Papua, RUU KPK yang sangat rentan ditunggangi kepentingan dan agenda lain yang ingin membuat kekacauan, sehingga Jokowi bisa gagal dilantik," jelas pria asal Sumbar ini.
Hingga kini, aksi demonstrasi sendiri terus meluas di sejumlah wilayah. Seperti di Yogyakarta, Malang, Semarang, Bogor, Bandung, Jakarta, Makassar, Sumatera Utara dan lainnya.
"Aksi ini membuat kondisi tidak stabil dan stabilitas politik terganggu. Apabila Jokowi tidak mampu mengatasi situasi semacam ini, yang sangat kompleks, bisa merusak legitimasi dan menganggu citra Jokowi," ucap Pangi.
Adanya agenda untuk menggagalkan pelantikan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024 pada 20 Oktober 2019, dinilai Pangi bukan tidak mungkin terjadi.
Terlebih Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengakui ada yang menginginkan situasi semakin memanas sehingga pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih menjadi terganggu.
"Intinya delegitimasi, ujungnya yang bisa ke arah sana (menjegal pelantikan, red)," kata Pangi.
Pasang Badan
Ketua Relawaan Jokowi (RèJO) Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kyai Ahmad Gufron menegaskan, pihaknya dan jutaan pendukung Presiden Jokowi di Indonesia akan pasang badan jika ada pihak-pihak yang mengganggu pelantikan Jokowi-Ma'ruf Amin pada 20 Oktober mendatang. Apalagi jika ada upaya melengserkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti yang dilakukan oleh Aksi Mujahid 212, Sabtu (28/9/2019) kemarin. .
"Ingat saudaraku Presiden Jokowi terpilih secara konstitusi dan mendapatkan amanah mayoritas rakyat Indonesia dalam Pilpres lalu. Tidak ada dalilnya Jokowi dilengserkan," kata Ketua RèJO Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kyai Ahmad Gufron, Minggu (29/9/2019).
Kyai Gufron meminta kelompok itu agar membaca kembali dengan teliti Undang-undang Dasar 1945 dengan turunannya serta belajar ilmu ketatanegaraan.
"Jadi tidak hanya asal banyak bicara kalau tidak tahu substansi. Kita akan hadapi jika ada rong-rongan seperti itu. Kami siap menjadi garda terdepan untuk membela seluruh proses konstitusi yang telah menghasilkan Jokowi Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih," tegasnya.
Bahkan, lanjut Kyai Gufron, pihaknya bersama organ pendukung Jokowi lainnya akan bergerak bersama jutaan simpatisan untuk mengawal jalannya pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada bulan Oktober nanti. Selain jutaan orang di Jakarta yang akan mengawal pelantikan Presiden dan Wapres, tambah Kyai Gufron, puluhan juta lainnya juga akan mengadakan berbagai kegiatan sebagai do'a syukur di seluruh tanah air. harianterbit.com
Desakan mundur antaranya disampaikan penceramah Sugi Nur Raharja atau Gus Nur, dalam orasinya di Aksi Mujahid 212, Sabtu (28/9/2019). Dia meminta Presiden Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden. Menurutnya, mundurnya Jokowi yang dinilai tidak baik memimpin Indonesia, akan membuat masyarakat bahagia.
"Kalau mundur sekarang, saya yakin umat, rakyat Indonesia ini, walaupun sesakit-sakitnya hatinya, akan memaafkan," ujar Gus Nur di area Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (28/9/2019).
Gus Nur menyampaikan, sebagai pemimpin negara, Jokowi seharusnya mengedepankan syariat atau nilai-nilai Islam. Pemimpin seharusnya memuliakan tauhid. Indonesia harus secepatnya berpindah ke nilai-nilai tauhid. Hal itu dinilai solusi semua permasalahan bangsa,” paparnya.
Sebelumnya diketahui, ribuan massa dengan atribut-atribut Muslim, memulai long march atau berjalan kaki dari Bundaran HI, Jakarta Pusat, menuju Istana Merdeka, Sabtu (28/9/2019) pagi. Adapun massa yang melakukan aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI, membawa banyak bendera tauhid atau ikrar umat Islam terhadap Allah SWT.
Protes Mahasiswa
Sementara itu, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berbagai daerah di Indonesia, kompak melakukan aksi turun jalan sejak Senin (23/9/2019). Salah satu tuntutan yang disuarakan antara lain agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur dari jabatannya.
Gelombang demonstrasi mahasiswa itu hanya berselang beberapa pekan jelang pelantikan Jokowi sebagai presiden untuk periode keduanya.
Demonstrasi mahasiswa berbagai daerah memprotes rencana pemerintahan Jokowi dan DPR mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang (RUU). Demo digelar serentak di Riau, Samarinda (Kalimantan Timur), Bandung (Jawa Barat), Jakarta, Yogyakarta, Jombang (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), hingga Papua dan wilayah lainnya.
Di Jakarta, misalnya, ribuan mahasiswa berbagai universitas mendemo gedung DPR/MPR/DPD RI di Senayan, menuntut Jokowi turun dari jabatannya.
Tuntutan tersebut bergema pasca disahkannya Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang disetujui oleh Jokowi. Dalam aksi di depan gedung DPR, mahasiswa menyerukan penolakan terhadap RUU KPK.
"Tolak, tolak, tolak RUU (KPK), tolak RUU sekarang juga," seru mahasiswa berjaket hijau tampaknya dari salah satu universitas milik Muhammadiyah.
Sambil berteriak, dengan penuh semangat mahasiswa membentangkan spanduk bertuliskan 'Save KPK'.
"Tak kurang 7 ribuan (massa)," ujar salah seorang aktivis yang turut hadir di lokasi.
"Kami (Mahasiswa, red) menuntut turunkan Jokowi," tambahnya.
Ada Dalang
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, menduga, ada pihak-pihak yang mengatur seiring maraknya aksi unjuk rasa yang kerap terjadi. Tujuannya, kata dia, agar situasi perpolitikan nasional menjadi kacau.
"Saya melihat ada setting-an untuk membuat kondisi politik tidak teratur, kacau. Apabila terjadi instabilitas politik otomatis merugikan Jokowi. Targetnya adalah untuk mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo," katanya di Jakarta, Minggu (29/9/2019).
Pangi yang juga menjabat sebagai Direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini mengatakan, masalah yang dihadapi oleh pemerintah tentu begitu kompleks. Sementara di sisi lain, Jokowi sendiri terkesan tidak punya sikap tegas.
"Begitu kompleks masalahnya, sementara Jokowi enggak punya sikap. Mulai kabut asap, konflik Papua, RUU KPK yang sangat rentan ditunggangi kepentingan dan agenda lain yang ingin membuat kekacauan, sehingga Jokowi bisa gagal dilantik," jelas pria asal Sumbar ini.
Hingga kini, aksi demonstrasi sendiri terus meluas di sejumlah wilayah. Seperti di Yogyakarta, Malang, Semarang, Bogor, Bandung, Jakarta, Makassar, Sumatera Utara dan lainnya.
"Aksi ini membuat kondisi tidak stabil dan stabilitas politik terganggu. Apabila Jokowi tidak mampu mengatasi situasi semacam ini, yang sangat kompleks, bisa merusak legitimasi dan menganggu citra Jokowi," ucap Pangi.
Adanya agenda untuk menggagalkan pelantikan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024 pada 20 Oktober 2019, dinilai Pangi bukan tidak mungkin terjadi.
Terlebih Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengakui ada yang menginginkan situasi semakin memanas sehingga pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih menjadi terganggu.
"Intinya delegitimasi, ujungnya yang bisa ke arah sana (menjegal pelantikan, red)," kata Pangi.
Pasang Badan
Ketua Relawaan Jokowi (RèJO) Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kyai Ahmad Gufron menegaskan, pihaknya dan jutaan pendukung Presiden Jokowi di Indonesia akan pasang badan jika ada pihak-pihak yang mengganggu pelantikan Jokowi-Ma'ruf Amin pada 20 Oktober mendatang. Apalagi jika ada upaya melengserkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti yang dilakukan oleh Aksi Mujahid 212, Sabtu (28/9/2019) kemarin. .
"Ingat saudaraku Presiden Jokowi terpilih secara konstitusi dan mendapatkan amanah mayoritas rakyat Indonesia dalam Pilpres lalu. Tidak ada dalilnya Jokowi dilengserkan," kata Ketua RèJO Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kyai Ahmad Gufron, Minggu (29/9/2019).
Kyai Gufron meminta kelompok itu agar membaca kembali dengan teliti Undang-undang Dasar 1945 dengan turunannya serta belajar ilmu ketatanegaraan.
"Jadi tidak hanya asal banyak bicara kalau tidak tahu substansi. Kita akan hadapi jika ada rong-rongan seperti itu. Kami siap menjadi garda terdepan untuk membela seluruh proses konstitusi yang telah menghasilkan Jokowi Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih," tegasnya.
Bahkan, lanjut Kyai Gufron, pihaknya bersama organ pendukung Jokowi lainnya akan bergerak bersama jutaan simpatisan untuk mengawal jalannya pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada bulan Oktober nanti. Selain jutaan orang di Jakarta yang akan mengawal pelantikan Presiden dan Wapres, tambah Kyai Gufron, puluhan juta lainnya juga akan mengadakan berbagai kegiatan sebagai do'a syukur di seluruh tanah air. harianterbit.com