Jakarta - Presiden Jokowi tidak menetapkan status darurat bencana nasional sebagaimana disarankan oleh WHO, melainkan menyerahkan urusan status bencana virus Corona kepada kepala daerah dan BNPB. Hal itu dianggap tidak efektif karena tiap daerah bisa berbicara berbeda-beda. Justru Jokowi disarankan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Saya menyarankan segera karena sudah pandemi dan pemerintah kedodoran lebih baik dikeluarkan Perppu aja karena ini darurat," kata pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo, ketika dihubungi, Minggu (15/3/2020).
Agus menilai opsi lockdown perlu dipertimbangkan mengingat semakin hari jumlah pasien pengidap corona terus bertambah. Bahkan, menurutnya, Jokowi juga harus mengesampingkan pembangunan infrastruktur dan omnibus law.
"Kalau saya setuju lockdown, terserah yang lain karena kalau di-lockdown kita dikonsentrasikan sehingga akan mudah penanganannya. Gunakan polisi, TNI untuk nge-drop makanan, jangan bikin budget, anggaran sudah pasti akan besar sekali triliunan. Ratusan triliun tapi ini harus dibereskan oleh negara. Lupakan pembangunan, lupakan omnibus law karena bagaimana mengurus epidemi ini," sambungnya.
Agus menilai kebijakan Jokowi yang menyerahkan status bencana Corona ke daerah tidak efektif karena saat ini sudah ada Satgas Gugus Tugas Penanganan Corona. Bila urusan bencana diserahkan ke daerah, kekacauan diprediksi bakal terjadi. Dia berefleksi pada kasus kepala daerah di Bali yang ternyata tidak tahu ada pasien di wilayahnya yang meninggal gegara positif COVID-19.
"Sudah betul Presiden waktu itu bilang ke Pak Doni Monardo (Kepala Satgas penanganan virus Corona) supaya mengambil, buat apa dibuat Satgas kalau dikembalikan ke daerah," kata Agus.
"Daerah nggak usah kasih komentar sendiri, nanti kacau sudah ada. Contohnya Bali, Jabar, Jateng. Sekarang semua data real-time kirim ke pusat, pusat yang mengelola," imbuhnya.
Dia mengatakan semestinya tiap daerah mengirimkan data ke pusat sehingga nantinya pemerintah pusat yang menganalisis terkait itu. Poin pentingnya, data yang disampaikan ke Satgas harus mudah diakses dan bersifat real-time.
"Semua data harus dikumpulkan pusat dan pusat yang menganalisa dan menyampaikan ke pubik, yang penting datanya real-time kepada Satgas, kalau ke daerah nanti beda lagi repot lagi. Kita terlalu banyak terlalu besar," ujarnya.
Ia menilai pemerintah lambat dalam merencanakan penanganan Corona. Padahal wabah Corona sudah terdapat sejak akhir Desember lalu.
"Bikin juklaknya aja baru 2-3 pekan lalu waktu Pak Moeldoko bilang sama saya di Mata Najwa itu baru sore itu saya terima, kemudian pembentukan satgas, juru bicara baru saja, wabah sudah ke mana-mana. Saya sudah sampaikan sejak Januari, tapi kalau sekarang sih sudah merebak ke mana-mana dan mengerikan. Sementara kita nggak tahu harus ke mana," ungkapnya.
Agus menuturkan tak hanya data jumlah pasien yang diperlukan. Tempat pengecekan bagi orang yang mau mengetahui apakah dia sakit atau tidak juga harus disampaikan secara jelas beserta informasi biayanya.
"Sekarang tanyakan ke mana masyarakat harus memeriksakan diri ketika belum sakit cuma pengen tahu dia tertular apa nggak karena inkubasinya 14 hari. Ke mana dan berapa biayanya, dijamin BPJS atau tidak. Kalau pakai BPJS, pakai rujuk Puskesmas dulu atau bagaimana, yang penting itu, sekarang masyarakat sampai hari ini tidak tahu harus bagaimana, kapan dapat asilnya. Kalau mau ke RSPAD di Jakarta ternyata nggak bisa karena harus izin Setneg atau Istana, nah terus bagaimana," ungkapnya. news.detik.com
"Saya menyarankan segera karena sudah pandemi dan pemerintah kedodoran lebih baik dikeluarkan Perppu aja karena ini darurat," kata pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo, ketika dihubungi, Minggu (15/3/2020).
Agus menilai opsi lockdown perlu dipertimbangkan mengingat semakin hari jumlah pasien pengidap corona terus bertambah. Bahkan, menurutnya, Jokowi juga harus mengesampingkan pembangunan infrastruktur dan omnibus law.
"Kalau saya setuju lockdown, terserah yang lain karena kalau di-lockdown kita dikonsentrasikan sehingga akan mudah penanganannya. Gunakan polisi, TNI untuk nge-drop makanan, jangan bikin budget, anggaran sudah pasti akan besar sekali triliunan. Ratusan triliun tapi ini harus dibereskan oleh negara. Lupakan pembangunan, lupakan omnibus law karena bagaimana mengurus epidemi ini," sambungnya.
Agus menilai kebijakan Jokowi yang menyerahkan status bencana Corona ke daerah tidak efektif karena saat ini sudah ada Satgas Gugus Tugas Penanganan Corona. Bila urusan bencana diserahkan ke daerah, kekacauan diprediksi bakal terjadi. Dia berefleksi pada kasus kepala daerah di Bali yang ternyata tidak tahu ada pasien di wilayahnya yang meninggal gegara positif COVID-19.
"Sudah betul Presiden waktu itu bilang ke Pak Doni Monardo (Kepala Satgas penanganan virus Corona) supaya mengambil, buat apa dibuat Satgas kalau dikembalikan ke daerah," kata Agus.
"Daerah nggak usah kasih komentar sendiri, nanti kacau sudah ada. Contohnya Bali, Jabar, Jateng. Sekarang semua data real-time kirim ke pusat, pusat yang mengelola," imbuhnya.
Dia mengatakan semestinya tiap daerah mengirimkan data ke pusat sehingga nantinya pemerintah pusat yang menganalisis terkait itu. Poin pentingnya, data yang disampaikan ke Satgas harus mudah diakses dan bersifat real-time.
"Semua data harus dikumpulkan pusat dan pusat yang menganalisa dan menyampaikan ke pubik, yang penting datanya real-time kepada Satgas, kalau ke daerah nanti beda lagi repot lagi. Kita terlalu banyak terlalu besar," ujarnya.
Ia menilai pemerintah lambat dalam merencanakan penanganan Corona. Padahal wabah Corona sudah terdapat sejak akhir Desember lalu.
"Bikin juklaknya aja baru 2-3 pekan lalu waktu Pak Moeldoko bilang sama saya di Mata Najwa itu baru sore itu saya terima, kemudian pembentukan satgas, juru bicara baru saja, wabah sudah ke mana-mana. Saya sudah sampaikan sejak Januari, tapi kalau sekarang sih sudah merebak ke mana-mana dan mengerikan. Sementara kita nggak tahu harus ke mana," ungkapnya.
Agus menuturkan tak hanya data jumlah pasien yang diperlukan. Tempat pengecekan bagi orang yang mau mengetahui apakah dia sakit atau tidak juga harus disampaikan secara jelas beserta informasi biayanya.
"Sekarang tanyakan ke mana masyarakat harus memeriksakan diri ketika belum sakit cuma pengen tahu dia tertular apa nggak karena inkubasinya 14 hari. Ke mana dan berapa biayanya, dijamin BPJS atau tidak. Kalau pakai BPJS, pakai rujuk Puskesmas dulu atau bagaimana, yang penting itu, sekarang masyarakat sampai hari ini tidak tahu harus bagaimana, kapan dapat asilnya. Kalau mau ke RSPAD di Jakarta ternyata nggak bisa karena harus izin Setneg atau Istana, nah terus bagaimana," ungkapnya. news.detik.com