BBC telah melihat sebuah dokumen yang memberikan gambaran paling kuat mengenai bagaimana China menentukan nasib ratusan ribu umat Muslim di jaringan kamp penahanan.
Dokumen tersebut berisi rincian data pribadi lebih dari 3.000 individu dari wilayah Xinjiang.
Data tersebut, yang terdiri dari 137 halaman berisi tabel-tabel, merinci seberapa sering individu-individu tersebut bersembahyang, bagaimana mereka berpakaian, siapa saja yang mereka hubungi, dan bagaimana perilaku anggota keluarga mereka.
China menyatakan Xinjiang menerapkan beragam kebijakan yang "menghormati dan menjamin kebebasan beragama rakyatnya".
China juga berkeras bahwa "program pelatihan vokasi di Xinjiang" adalah "demi tujuan memerangi terorisme dan ekstremisme agama". Ditambahkan, hanya orang-orang yang dijatuhi hukuman pidana, termasuk terorisme atau ekstremisme agama, yang "dididik" di tempat-tempat tersebut.
Investigasi BBC: Cina dirikan kamp-kamp rahasia untuk 'mendidik' umat Muslim Uighur
Dokumen ini disebut berasal dari sumber yang sama di dalam Xinjiang yang membocorkan serangkaian materi sangat sensitif yang dipublikasikan tahun lalu. Sumber itu mendapatkannya dengan menanggung risiko pribadi.
Dr Adrian Zenz, selaku salah seorang pakar kebijakan China terhadap Xinjiang yang merupakan peneliti senior dari Victims of Communism Memorial Foundation di Washington meyakini bocoran dokumen tersebut asli.
"Dokumen ini luar biasa, menghadirkan bukti terkuat yang pernah saya lihat bahwa Beijing secara aktif mempersekusi dan menghukum keyakinan agama tradisional," ujarnya.
Salah satu kamp yang disebut dalam dokumen itu adalah "Pusat Pelatihan Nomor Empat". Dr Zens mengidentifikasinya sebagai salah satu yang dikunjungi BBC sebagai bagian dari tur yang diselenggarakan pemerintah China pada Mei 2019.
Sebagian besar bukti yang yang diungkap tim BBC tampaknya sejalan dengan dokumen baru ini, yang disensor saat dipublikasikan untuk melindungi privasi mereka yang tercantum.
Dokumen ini memuat rincian investigasi terhadap 311 individu utama, antara lain latar belakang mereka, kebiasaan beragama mereka, serta hubungan dengan ratusan kerabat, tetangga, dan teman.
Kesimpulan dalam kolom terakhir menentukan apakah orang-orang yang berada di tahanan seharusnya tetap ditahan atau dibebaskan. Ditentukan pula apakah mereka yang sebelumnya dibebaskan perlu kembali ditahan.
Dokumen ini menjadi bukti yang tampaknya bertolak belakang dengan klaim China bahwa kamp-kamp ini adalah semata-semata sekolah.
Dalam artikel yang menganalisa dan memverifikasi dokumen tersebut, Dr Zens berargumen bahwa berkas itu juga memberikan pemahaman mendalam mengenai tujuan sejati sistem penahanan.
Menurutnya, dokumen itu memberikan isi benak mereka yang membuat keputusan serta menjabarkan "mekanisme administrasi mikro dan ideologi" kamp-kamp penahanan.
Sebagai contoh, baris 598 memuat kasus seorang perempuan 38 tahun dengan nama depan Helchem, dikirim ke kamp re-edukasi karena satu alasan utama: dia diketahui memakai jilbab beberapa tahun lalu.
Itu hanyalah satu dari sekian kasus penghukuman karena tindakan masa lalu
Contoh kasus lainnya adalah sejumlah individu ditahan karena mengajukan pembuatan paspor—bukti bahwa niat bepergian ke luar negeri dipandang sebagai bukti radikalisasi di Xinjiang.
Pada baris 66, seorang pria 34 tahun dengan nama depan Memettohti dikirim ke kamp karena mengajukan pembuatan paspor, meski ditulis "praktis tidak menimbulkan risiko".
Kemudian ada pria 28 tahun bernama depan Nurmemet pada baris 239. Dia dikirim ke kamp karena "mengklik tautan web dan secara tidak sengaja membuka laman asing".
Dalam catatan dokumen itu, Nurmemet digambarkan sebagai individu yang perilakunya tidak bermasalah.
Ke-311 individu ini semua berasal dari Distrik Karakax, dekat Kota Hotan di Xinjiang selatan, sebuah kawasan yang lebih dari 90% populasinya merupakan etnis Uighur.
Mayoritas Muslim, etnis Uighur secara penampilan, bahasa, dan budaya lebih dekat dengan masyarakat Asia Tengah ketimbang etnis mayoritas China, Han.
Selama beberapa dekade terakhir, kedatangan jutaan orang Han ke Xinjiang menimbulkan ketegangan etnis dan bertambah kesan bahwa Uighur dipinggirkan di bidang ekonomi.
Rangkaian ketidakpuasan ini kerap berwujud pada aksi kekerasan sporadis, yang kemudian mendorong aparat Beijing untuk bersikap represif.
Siklus kekerasan inilah yang membuat Uighur menjadi target—bersama dengan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang, seperti etnik Kazakh and Kyrgyz—untuk ditempatkan di kamp re-edukasi.
Mengapa ormas Islam dan pemerintah 'bungkam' atas dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur?
"Karakax List", demikian sebutan Dr Zenz untuk dokumen tersebut, merangkum cara pandang pemerintah China terhadap hampir semua ekspresi keyakinan beragama sebagai tanda ketidaksetiaan.
Untuk memberangus sikap yang disangka tidak setia itu, menurut Dr Zens, negara harus mencari cara untuk menembus jauh ke dalam hati dan rumah orang Uighur.
Pada awal 2017, ketika kampanye kamp penahanan dimulai, kelompok pekerja setia Partai Komunis yang dikenal dengan sebutan "tim-tim kerja desa", mulai beroperasi di tengah masyarakat Uighur.
Setiap anggota kelompok ditugasi mendatangi sekian rumah, berteman dengan empunya rumah, dan mencatat beragam hal, antara lain "atmosfer keagamaan" di rumah, berapa banyak Quran yang mereka miliki, atau apakah ada ritual keagamaan yang dilakoni.
"Karakax List" tampaknya menjadi bukti substansial bagaimana informasi terperinci ini digunakan untuk menjaring orang-orang Uighur ke dalam kamp-kamp.
Dokumen tersebut, sebagai contoh, mengungkap bagaimana China memakai konsep "bersalah karena terkait" untuk mempidana dan menahan jaringan keluarga besar di Xinjiang.
Bagi setiap individu utama, kolom ke-11 digunakan untuk mencatat hubungan kekeluargaan dan lingkaran sosial yang bersangkutan.
Di samping setiap kerabat atau teman yang terdaftar ada catatan tersendiri mengenai latar belakang mereka: seberapa sering mereka bersembahyang, apakah mereka pernah dimasukkan kamp, apakah mereka pernah ke luar negeri.
Bahkan, judul dokumen memperjelas bahwa semua individu utama yang terdaftar punya kerabat yang tinggal di luar negeri—sebuah kategori yang sejak lama dianggap sebagai indikator kunci mengenai potensi ketidaksetiaan sehingga hampir pasti yang bersangkutan dimasukkan ke kamp.
Pada baris 179, 315, dan 345 ada serangkaian penilaian terhadap seorang pria berusia 65 tahun, Yusup.
Catatannya menunjukkan bahwa kedua putrinya "memakai jilbab dan burka pada 2014 dan 2015", putranya punya kedekatan dengan politik Islam, dan keluarganya punya "sentimen anti-Han yang jelas".
Kesimpulan untuk Yusup adalah dia harus "melanjutkan pelatihan"—satu dari sekian banyak contoh orang yang dimasukkan ke kamp bukan karena tindakannya dan pandangannya, tapi karena keluarga mereka.
Informasi yang dihimpun oleh tim-tim desa juga dikirim ke sistem data Xinjiang, yaitu Integrated Joint Operations Platform (IJOP).
IJOP berisi berbagai catatan pengawasan dan penertiban di Xinjiang, diambil dari jaringan luas kamera serta perangkat mata-mata pada ponsel yang harus diunduh setiap warga.
IJOP, menurut Dr Zenz, dapat menggunakan kecerdasan buatannya (AI) untuk menyilangkan lapisan-lapisan data, kemudian mengirim notifikasi ke tim-tim desa yang akan menyelidiki individu tertentu.
Pria yang kedapatan "secara tidak sengaja membuka laman asing" amat mungkin dimasukkan ke dalam kamp lantaran kerja IJOP.
Kendati demikian, tidak diperlukan teknologi canggih dalam banyak kasus, lantaran ada sejumlah orang ditangkap dengan alasan "tidak dapat dipercaya" dalam dokumen. Istilah itu dipakai sebagai satu-satunya alasan untuk menjebloskan 88 individu ke dalam kamp.
Dr Zenz menilai konsep itu adalah bukti bahwa sistem tersebut dirancang bukan terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan, melainkan untuk seluruh lapisan masyarakat yang dipandang berpotensi mencurigakan.
Banyak kasus individu di dalam Karakax List yang alasan penahanannya gabungan perihal agama, paspor, keluarga, punya kontak di luar negeri, atau sekadar tidak dapat dipercaya.
Alasan yang paling sering dipakai untuk menahan orang adalah pelanggaran undang-undang keluarga berencana China.
Dari pandangan aparat China tampaknya punya terlalu banyak anak adalah tanda paling jelas bahwa masyarakat Uighur menempatkan kesetiaan mereka pada budaya dan tradisi lebih utama ketimbang kepatuhan pada negara sekuler.
China sejak lama menyebut tindakan-tindakannya di Xinjiang sebagai bagian dari tanggapan darurat atas ancaman ekstremisme dan terorisme.
Karakax List memang menampung sejumlah referensi jenis kejahatan yang dimaksud, seperti enam kasus penyiapan, praktik, atau pemicuan tindak terorisme dan dua kasus menonton video-video ilegal.
Namun, fokus penghimpunan dokumen ini tampak bukan terorisme itu sendiri melainkan keyakinan beragama. Lebih dari 100 kali "atmosfer keagamaan" di rumah disebutkan.
Karakax List tidak punya cap atau tanda otentik bahwa dokumen ini buatan pemerintah sehingga sulit diverifikasi.
Diperkirakan dokumen ini diloloskan dari Xinjiang sebelum akhir Juni 2019, bersama dengan berkas-berkas sensitif lainnya.
Berkas-berkas itu kemudian berada di tangan seorang eksis Uighur yang tidak disebutkan identitasnya. Olehnya, berkas-berkas tersebut diserahkan, kecuali dokumen ini.
Ketika rangkaian pertama dipublikasikan tahun lalu, Karakax List lantas diteruskan ke seorang Uighur lainnya yang tinggal di Amsterdam, Asiye Abdulaheb.
Dia berkata kepada BBC, dirinya yakin dokumen ini asli.
"Terlepas apakah ada cap resmi pada dokumen atau tidak, ini adalah informasi mengenai orang nyata, hidup," ujarnya. "Ini adalah informasi privat mengenai orang-orang yang tidak akan dirilis ke khalayak. Jadi tidak mungkin pemerintah China mengklaim dokumen ini palsu."
Sebagaimana halnya dengan semua orang Uighur di luar negeri, Abdulaheb hilang kontak dengan keluarganya di Xinjiang sejak kebijakan penahanan dimulai.
Dia mengaku dirinya tidak punya pilihan selain merilis dokumen itu, meneruskanya ke organisasi media internasional, termasuk BBC.
"Tentu saja saya khawatir dengan keselamatan keluarga dan teman saya," katanya. "Namun jika semua orang tetap bungkam karena mereka ingin melindungi diri dan keluarga mereka, maka kita tidak akan pernah mencegah kejahatan ini dilakukan."
Pada akhir tahun lalu China mengumumkan semua orang di dalam "pusat pelatihan vokasi" telah "lulus". Bagaimanapun, China juga mengindikasikan beberapa tempat bakal tetap buka untuk siswa-siswa baru atas "kehendak bebas" mereka.
Hampir 90% dari 311 individu utama di dalam Karakax List disebut sudah dilepaskan atau akan dilepaskan setelah setahun penuh di kamp-kamp.
Dr Zenz menegaskan kamp-kamp re-edukasi merupakan salah satu bagian dari sistem penahanan yang lebih luas, sebagian besar tetap tersembunyi dari sorotan khalayak dunia.
Image caption
Tampak luar salah satu kamp di Xinjiang.
Lebih dari 20 individu digolongkan sebagai "direkomendasikan" untuk dimasukkan ke "pekerjaan kawasan industri"—"arahan" karier yang mungkin bagi mereka tak ada pilihan selain patuh.
Terdapat kekhawatiran yang didokumentasikan bahwa China kini membangun sistem kerja paksa sebagai fase berikutnya dalam rencana menempatkan masyarakat Uighur sesuai visi masyarakat modern ciptaan pemerintah.
Dalam dua kasus, re-edukasi membuat tahanan dikirim ke "detensi pemogokan parah", sebuah pengingat bahwa sistem penjara formal telah diubah dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagaimana terlihat di dalam dokumen, banyak orang tua atau saudara kandung ditempatkan di penjara dalam jangka waktu yang lama, terkadang hanya karena mematuhi ajaran agama dan mempraktikkan ajaran agama.
Ayah seorang pria terlihat dipenjara selama lima tahun karena "memelihara janggut tebal dua warna dan menyelenggarakan kelompok kajian agama".
Seorang tetangga dilaporkan divonis 15 tahun penjara karena "menjalin kontak online dengan orang di luar negeri". Ada pula adik kandung seorang pria dijatuhi hukuman penjara 10 tahun karena "menyimpan foto-foto bernada makar di ponselnya".
Apakah China masih membuka atau sudah menutup kamp-kamp re-edukasi di Xinjiang, Dr Zenz mengatakan Karakax List menampilkan hal penting mengenai psikologi sebuah sistem yang terus dijalankan.
"Dokumen itu mengungkap pola pikir pemburuan terhadap orang-orang yang telah berlangsung dan terus mendominasi kehidupan sosial di wilayah tersebut," ujarnya. bbc.com
Dokumen tersebut berisi rincian data pribadi lebih dari 3.000 individu dari wilayah Xinjiang.
Data tersebut, yang terdiri dari 137 halaman berisi tabel-tabel, merinci seberapa sering individu-individu tersebut bersembahyang, bagaimana mereka berpakaian, siapa saja yang mereka hubungi, dan bagaimana perilaku anggota keluarga mereka.
China menyatakan Xinjiang menerapkan beragam kebijakan yang "menghormati dan menjamin kebebasan beragama rakyatnya".
China juga berkeras bahwa "program pelatihan vokasi di Xinjiang" adalah "demi tujuan memerangi terorisme dan ekstremisme agama". Ditambahkan, hanya orang-orang yang dijatuhi hukuman pidana, termasuk terorisme atau ekstremisme agama, yang "dididik" di tempat-tempat tersebut.
Investigasi BBC: Cina dirikan kamp-kamp rahasia untuk 'mendidik' umat Muslim Uighur
Dokumen ini disebut berasal dari sumber yang sama di dalam Xinjiang yang membocorkan serangkaian materi sangat sensitif yang dipublikasikan tahun lalu. Sumber itu mendapatkannya dengan menanggung risiko pribadi.
Dr Adrian Zenz, selaku salah seorang pakar kebijakan China terhadap Xinjiang yang merupakan peneliti senior dari Victims of Communism Memorial Foundation di Washington meyakini bocoran dokumen tersebut asli.
"Dokumen ini luar biasa, menghadirkan bukti terkuat yang pernah saya lihat bahwa Beijing secara aktif mempersekusi dan menghukum keyakinan agama tradisional," ujarnya.
Salah satu kamp yang disebut dalam dokumen itu adalah "Pusat Pelatihan Nomor Empat". Dr Zens mengidentifikasinya sebagai salah satu yang dikunjungi BBC sebagai bagian dari tur yang diselenggarakan pemerintah China pada Mei 2019.
Sebagian besar bukti yang yang diungkap tim BBC tampaknya sejalan dengan dokumen baru ini, yang disensor saat dipublikasikan untuk melindungi privasi mereka yang tercantum.
Dokumen ini memuat rincian investigasi terhadap 311 individu utama, antara lain latar belakang mereka, kebiasaan beragama mereka, serta hubungan dengan ratusan kerabat, tetangga, dan teman.
Kesimpulan dalam kolom terakhir menentukan apakah orang-orang yang berada di tahanan seharusnya tetap ditahan atau dibebaskan. Ditentukan pula apakah mereka yang sebelumnya dibebaskan perlu kembali ditahan.
Dokumen ini menjadi bukti yang tampaknya bertolak belakang dengan klaim China bahwa kamp-kamp ini adalah semata-semata sekolah.
Dalam artikel yang menganalisa dan memverifikasi dokumen tersebut, Dr Zens berargumen bahwa berkas itu juga memberikan pemahaman mendalam mengenai tujuan sejati sistem penahanan.
Menurutnya, dokumen itu memberikan isi benak mereka yang membuat keputusan serta menjabarkan "mekanisme administrasi mikro dan ideologi" kamp-kamp penahanan.
Sebagai contoh, baris 598 memuat kasus seorang perempuan 38 tahun dengan nama depan Helchem, dikirim ke kamp re-edukasi karena satu alasan utama: dia diketahui memakai jilbab beberapa tahun lalu.
Itu hanyalah satu dari sekian kasus penghukuman karena tindakan masa lalu
Contoh kasus lainnya adalah sejumlah individu ditahan karena mengajukan pembuatan paspor—bukti bahwa niat bepergian ke luar negeri dipandang sebagai bukti radikalisasi di Xinjiang.
Pada baris 66, seorang pria 34 tahun dengan nama depan Memettohti dikirim ke kamp karena mengajukan pembuatan paspor, meski ditulis "praktis tidak menimbulkan risiko".
Kemudian ada pria 28 tahun bernama depan Nurmemet pada baris 239. Dia dikirim ke kamp karena "mengklik tautan web dan secara tidak sengaja membuka laman asing".
Dalam catatan dokumen itu, Nurmemet digambarkan sebagai individu yang perilakunya tidak bermasalah.
Ke-311 individu ini semua berasal dari Distrik Karakax, dekat Kota Hotan di Xinjiang selatan, sebuah kawasan yang lebih dari 90% populasinya merupakan etnis Uighur.
Mayoritas Muslim, etnis Uighur secara penampilan, bahasa, dan budaya lebih dekat dengan masyarakat Asia Tengah ketimbang etnis mayoritas China, Han.
Selama beberapa dekade terakhir, kedatangan jutaan orang Han ke Xinjiang menimbulkan ketegangan etnis dan bertambah kesan bahwa Uighur dipinggirkan di bidang ekonomi.
Rangkaian ketidakpuasan ini kerap berwujud pada aksi kekerasan sporadis, yang kemudian mendorong aparat Beijing untuk bersikap represif.
Siklus kekerasan inilah yang membuat Uighur menjadi target—bersama dengan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang, seperti etnik Kazakh and Kyrgyz—untuk ditempatkan di kamp re-edukasi.
Mengapa ormas Islam dan pemerintah 'bungkam' atas dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur?
"Karakax List", demikian sebutan Dr Zenz untuk dokumen tersebut, merangkum cara pandang pemerintah China terhadap hampir semua ekspresi keyakinan beragama sebagai tanda ketidaksetiaan.
Untuk memberangus sikap yang disangka tidak setia itu, menurut Dr Zens, negara harus mencari cara untuk menembus jauh ke dalam hati dan rumah orang Uighur.
Pada awal 2017, ketika kampanye kamp penahanan dimulai, kelompok pekerja setia Partai Komunis yang dikenal dengan sebutan "tim-tim kerja desa", mulai beroperasi di tengah masyarakat Uighur.
Setiap anggota kelompok ditugasi mendatangi sekian rumah, berteman dengan empunya rumah, dan mencatat beragam hal, antara lain "atmosfer keagamaan" di rumah, berapa banyak Quran yang mereka miliki, atau apakah ada ritual keagamaan yang dilakoni.
"Karakax List" tampaknya menjadi bukti substansial bagaimana informasi terperinci ini digunakan untuk menjaring orang-orang Uighur ke dalam kamp-kamp.
Dokumen tersebut, sebagai contoh, mengungkap bagaimana China memakai konsep "bersalah karena terkait" untuk mempidana dan menahan jaringan keluarga besar di Xinjiang.
Bagi setiap individu utama, kolom ke-11 digunakan untuk mencatat hubungan kekeluargaan dan lingkaran sosial yang bersangkutan.
Di samping setiap kerabat atau teman yang terdaftar ada catatan tersendiri mengenai latar belakang mereka: seberapa sering mereka bersembahyang, apakah mereka pernah dimasukkan kamp, apakah mereka pernah ke luar negeri.
Bahkan, judul dokumen memperjelas bahwa semua individu utama yang terdaftar punya kerabat yang tinggal di luar negeri—sebuah kategori yang sejak lama dianggap sebagai indikator kunci mengenai potensi ketidaksetiaan sehingga hampir pasti yang bersangkutan dimasukkan ke kamp.
Pada baris 179, 315, dan 345 ada serangkaian penilaian terhadap seorang pria berusia 65 tahun, Yusup.
Catatannya menunjukkan bahwa kedua putrinya "memakai jilbab dan burka pada 2014 dan 2015", putranya punya kedekatan dengan politik Islam, dan keluarganya punya "sentimen anti-Han yang jelas".
Kesimpulan untuk Yusup adalah dia harus "melanjutkan pelatihan"—satu dari sekian banyak contoh orang yang dimasukkan ke kamp bukan karena tindakannya dan pandangannya, tapi karena keluarga mereka.
Informasi yang dihimpun oleh tim-tim desa juga dikirim ke sistem data Xinjiang, yaitu Integrated Joint Operations Platform (IJOP).
IJOP berisi berbagai catatan pengawasan dan penertiban di Xinjiang, diambil dari jaringan luas kamera serta perangkat mata-mata pada ponsel yang harus diunduh setiap warga.
IJOP, menurut Dr Zenz, dapat menggunakan kecerdasan buatannya (AI) untuk menyilangkan lapisan-lapisan data, kemudian mengirim notifikasi ke tim-tim desa yang akan menyelidiki individu tertentu.
Pria yang kedapatan "secara tidak sengaja membuka laman asing" amat mungkin dimasukkan ke dalam kamp lantaran kerja IJOP.
Kendati demikian, tidak diperlukan teknologi canggih dalam banyak kasus, lantaran ada sejumlah orang ditangkap dengan alasan "tidak dapat dipercaya" dalam dokumen. Istilah itu dipakai sebagai satu-satunya alasan untuk menjebloskan 88 individu ke dalam kamp.
Dr Zenz menilai konsep itu adalah bukti bahwa sistem tersebut dirancang bukan terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan, melainkan untuk seluruh lapisan masyarakat yang dipandang berpotensi mencurigakan.
Banyak kasus individu di dalam Karakax List yang alasan penahanannya gabungan perihal agama, paspor, keluarga, punya kontak di luar negeri, atau sekadar tidak dapat dipercaya.
Alasan yang paling sering dipakai untuk menahan orang adalah pelanggaran undang-undang keluarga berencana China.
Dari pandangan aparat China tampaknya punya terlalu banyak anak adalah tanda paling jelas bahwa masyarakat Uighur menempatkan kesetiaan mereka pada budaya dan tradisi lebih utama ketimbang kepatuhan pada negara sekuler.
China sejak lama menyebut tindakan-tindakannya di Xinjiang sebagai bagian dari tanggapan darurat atas ancaman ekstremisme dan terorisme.
Karakax List memang menampung sejumlah referensi jenis kejahatan yang dimaksud, seperti enam kasus penyiapan, praktik, atau pemicuan tindak terorisme dan dua kasus menonton video-video ilegal.
Namun, fokus penghimpunan dokumen ini tampak bukan terorisme itu sendiri melainkan keyakinan beragama. Lebih dari 100 kali "atmosfer keagamaan" di rumah disebutkan.
Karakax List tidak punya cap atau tanda otentik bahwa dokumen ini buatan pemerintah sehingga sulit diverifikasi.
Diperkirakan dokumen ini diloloskan dari Xinjiang sebelum akhir Juni 2019, bersama dengan berkas-berkas sensitif lainnya.
Berkas-berkas itu kemudian berada di tangan seorang eksis Uighur yang tidak disebutkan identitasnya. Olehnya, berkas-berkas tersebut diserahkan, kecuali dokumen ini.
Ketika rangkaian pertama dipublikasikan tahun lalu, Karakax List lantas diteruskan ke seorang Uighur lainnya yang tinggal di Amsterdam, Asiye Abdulaheb.
Dia berkata kepada BBC, dirinya yakin dokumen ini asli.
"Terlepas apakah ada cap resmi pada dokumen atau tidak, ini adalah informasi mengenai orang nyata, hidup," ujarnya. "Ini adalah informasi privat mengenai orang-orang yang tidak akan dirilis ke khalayak. Jadi tidak mungkin pemerintah China mengklaim dokumen ini palsu."
Sebagaimana halnya dengan semua orang Uighur di luar negeri, Abdulaheb hilang kontak dengan keluarganya di Xinjiang sejak kebijakan penahanan dimulai.
Dia mengaku dirinya tidak punya pilihan selain merilis dokumen itu, meneruskanya ke organisasi media internasional, termasuk BBC.
"Tentu saja saya khawatir dengan keselamatan keluarga dan teman saya," katanya. "Namun jika semua orang tetap bungkam karena mereka ingin melindungi diri dan keluarga mereka, maka kita tidak akan pernah mencegah kejahatan ini dilakukan."
Pada akhir tahun lalu China mengumumkan semua orang di dalam "pusat pelatihan vokasi" telah "lulus". Bagaimanapun, China juga mengindikasikan beberapa tempat bakal tetap buka untuk siswa-siswa baru atas "kehendak bebas" mereka.
Hampir 90% dari 311 individu utama di dalam Karakax List disebut sudah dilepaskan atau akan dilepaskan setelah setahun penuh di kamp-kamp.
Dr Zenz menegaskan kamp-kamp re-edukasi merupakan salah satu bagian dari sistem penahanan yang lebih luas, sebagian besar tetap tersembunyi dari sorotan khalayak dunia.
Image caption
Tampak luar salah satu kamp di Xinjiang.
Lebih dari 20 individu digolongkan sebagai "direkomendasikan" untuk dimasukkan ke "pekerjaan kawasan industri"—"arahan" karier yang mungkin bagi mereka tak ada pilihan selain patuh.
Terdapat kekhawatiran yang didokumentasikan bahwa China kini membangun sistem kerja paksa sebagai fase berikutnya dalam rencana menempatkan masyarakat Uighur sesuai visi masyarakat modern ciptaan pemerintah.
Dalam dua kasus, re-edukasi membuat tahanan dikirim ke "detensi pemogokan parah", sebuah pengingat bahwa sistem penjara formal telah diubah dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagaimana terlihat di dalam dokumen, banyak orang tua atau saudara kandung ditempatkan di penjara dalam jangka waktu yang lama, terkadang hanya karena mematuhi ajaran agama dan mempraktikkan ajaran agama.
Ayah seorang pria terlihat dipenjara selama lima tahun karena "memelihara janggut tebal dua warna dan menyelenggarakan kelompok kajian agama".
Seorang tetangga dilaporkan divonis 15 tahun penjara karena "menjalin kontak online dengan orang di luar negeri". Ada pula adik kandung seorang pria dijatuhi hukuman penjara 10 tahun karena "menyimpan foto-foto bernada makar di ponselnya".
Apakah China masih membuka atau sudah menutup kamp-kamp re-edukasi di Xinjiang, Dr Zenz mengatakan Karakax List menampilkan hal penting mengenai psikologi sebuah sistem yang terus dijalankan.
"Dokumen itu mengungkap pola pikir pemburuan terhadap orang-orang yang telah berlangsung dan terus mendominasi kehidupan sosial di wilayah tersebut," ujarnya. bbc.com