Indonesia - Awan mendung tengah menggelayuti perekonomian China. Setelah tahun lalu nelangsa gara-gara perang dagang lawan Amerika Serikat (AS), kini China menghadapi tantangan baru yang bernama virus corona.
Virus yang menyebabkan gejala seperti influenza ini berawal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Seiring libur panjang Tahun Baru Imlek, virus corona menyebar dengan luas dan cepat karena tingginya mobilitas masyarakat. Imlek memang momen puncak pergerakan warga China, baik antar-kota maupun antar-negara.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (5/2/2020) pukul 00:16 WIB, sudah terjadi 20.704 kasus virus corona di seluruh dunia.
Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) biaya pengobatan untuk virus corona di seluruh dunia sudah mencapai US$ 675 juta (Rp 890,41 miliar dengan kurs saat ini). Angka ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi.
Ya, dampak ekonomi akibat penyebaran (outbreak) virus corona memang tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, virus ini membuat aktivitas ekonomi di Negeri Tirai Bambu seret.
Kalau ada virus mematikan sedang bergentayangan, tentu masyarakat berpikir ribuan kali untuk beraktivitas di luar rumah. Akibatnya, aktivitas produksi dan konsumsi pasti berkurang drastis.
"Awalnya pemerintah China menambah masa libur Imlek selama tiga hari. Namun sesudah itu, jumlah pabrik yang tidak berproduksi semakin banyak. Berbagai provinsi di China menunda aktivitas bisnis," sebut laporan IHS Markit yang dirilis 31 Januari lalu.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China hampir pasti melambat. Bahkan risiko pertumbuhan ekonomi di bawah 5% adalah sesuatu yang sangat nyata.
"Untuk saat ini, sulit melihat penyebaran virus Corona akan melambat. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 bisa turun ke bawah 5% dan ini kemungkinan masih berlanjut pada kuartal berikutnya," kata Wang Jun, Kepala Ekonom Zhongyuan Bank, seperti diberitakan Reuters.
Beberapa ekonom lain yang dimintai pendapat oleh Reuters juga mengemukakan proyeksi yang gloomy. Louis Kuijs, Ekonom Oxford Economics, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China sebesar 5,4% pada 2020. Lumayan jauh melambat dibandingkan pencapaian 2019 yaitu 6,1%. Sementara Tao Wang, Ekonom UBS, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 hanya 3,8% dan sepanjang 2020 adalah 5,4%. cnbcindonesia.com
Virus yang menyebabkan gejala seperti influenza ini berawal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Seiring libur panjang Tahun Baru Imlek, virus corona menyebar dengan luas dan cepat karena tingginya mobilitas masyarakat. Imlek memang momen puncak pergerakan warga China, baik antar-kota maupun antar-negara.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (5/2/2020) pukul 00:16 WIB, sudah terjadi 20.704 kasus virus corona di seluruh dunia.
Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) biaya pengobatan untuk virus corona di seluruh dunia sudah mencapai US$ 675 juta (Rp 890,41 miliar dengan kurs saat ini). Angka ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi.
Ya, dampak ekonomi akibat penyebaran (outbreak) virus corona memang tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, virus ini membuat aktivitas ekonomi di Negeri Tirai Bambu seret.
Kalau ada virus mematikan sedang bergentayangan, tentu masyarakat berpikir ribuan kali untuk beraktivitas di luar rumah. Akibatnya, aktivitas produksi dan konsumsi pasti berkurang drastis.
"Awalnya pemerintah China menambah masa libur Imlek selama tiga hari. Namun sesudah itu, jumlah pabrik yang tidak berproduksi semakin banyak. Berbagai provinsi di China menunda aktivitas bisnis," sebut laporan IHS Markit yang dirilis 31 Januari lalu.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China hampir pasti melambat. Bahkan risiko pertumbuhan ekonomi di bawah 5% adalah sesuatu yang sangat nyata.
"Untuk saat ini, sulit melihat penyebaran virus Corona akan melambat. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 bisa turun ke bawah 5% dan ini kemungkinan masih berlanjut pada kuartal berikutnya," kata Wang Jun, Kepala Ekonom Zhongyuan Bank, seperti diberitakan Reuters.
Beberapa ekonom lain yang dimintai pendapat oleh Reuters juga mengemukakan proyeksi yang gloomy. Louis Kuijs, Ekonom Oxford Economics, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China sebesar 5,4% pada 2020. Lumayan jauh melambat dibandingkan pencapaian 2019 yaitu 6,1%. Sementara Tao Wang, Ekonom UBS, memperkirakan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 hanya 3,8% dan sepanjang 2020 adalah 5,4%. cnbcindonesia.com