JAKARTA — Enam anggota Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) diduga melanggar prosedur operasional standar (POS) penanganan demonstrasi yang merenggut nyawa dua mahasiswa di kantor DPRD Kendari, pekan lalu. Keenam polisi tersebut membawa senjata api dengan amunisi tajam saat pengamanan unjuk rasa.
Kepala Biro Divisi Propam Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Hendro Pandowo mengatakan, enam anggota kepolisian tersebut kini dalam pemeriksaan internal.
“Kami tetapkan enam anggota menjadi terperiksa,” ujar Hendro dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (3/10).
Perwira bintang satu itu membeberkan inisial enam anggota terperiksa tersebut, yakni DK yang berpangkat perwira. Lainnya, GM, MI, MA, dan H, serta E berpangkat bintara. Keenamnya berasal dari Polda Sultra, dan Kepolisian Resor (Polres) Kendari. Keenamnya, pun teridentifikasi sebagai anggota satuan reserse kriminal dan intai.
Hendro mengatakan, enam anggota kepolisian itu membawa senjata api laras pendek jenis S&W dan HS dengan amunisi tajam saat pengamanan demonstrasi. Menengok dua jenis senjata itu, jamak menggunakan amunisi 9 milimeter (mm). Hendro menegaskan, membawa senjata api dengan amunisi tajam saat pengamanan demonstrasi menjadi fokus utama pemeriksaan Propam.
Satu yang pasti, menurut dia, membawa senjata api dalam pengamanan unjuk rasa merupakan kesalahan fatal. Sebab, Hendro menegaskan, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mewajibkan seluruh personel kepolisian di lokasi unjuk rasa tak menggunakan senjata api dengan amunisi tajam saat pengamanan aksi demonstrasi.
“Ini yang kita dalami kenapa senjata itu dibawa saat pengamanan unras (unjuk rasa). Padahal Kapolri sudah sampaikan untuk tidak bawa senjata,” kata Hendro.
Pengamanan unjuk rasa mahasiswa di Kantor DPRD Kendari, Sultra, Kamis (26/9) menjadi salah satu perlakuan terburuk yang dilakukan aparat kepolisian terhadap para demonstran selama aksi penolakan terhadap RUU KUHP dan revisi UU KPK yang terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Di kota tersebut, seorang mahasiswa semester tujuh dari Universitas Halu Oleo, La Randi yang menjadi salah satu peserta massa aksi, meninggal dunia diterjang peluru tajam ke arah dada dan menembus tubuhnya.
Selain Randi, mahasiswa lainnya yakni Yusuf Qardawi, juga akhirnya meninggal dunia setelah mengalami gegar otak. Unjuk rasa yang memakan korban jiwa itu membuat Kapolri Jenderal Tito Karnavian melakukan pencopotan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sultra, pada Jumat (27/9).
Tito pun menerjunkan tim khusus untuk menyelidiki kasus penembakan tersebut. Tim yang menyertakan divisi propam, forensik, dan balistik sudah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi penembakan Randi.
Hendro melanjutkan, saat tim melakukan investigasi, ada temuan tiga selongsong peluru di depan kantor Dinas Ketenagakerjaan (Disnakertrans) Pemprov Sultra, yang berada di Jalan Abdullah Silondae. Terkait selongsong tersebut, tim gabungan investigasi belum mau membeberkan. Namun, Hendro mengatakan, setelah tim melakukan olah TKP, tim akan melakukan pemberkasan para terperiksa, untuk selanjutnya dilakukan sidang profesi dan etik internal. nasional.republika.co.id
Kepala Biro Divisi Propam Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Hendro Pandowo mengatakan, enam anggota kepolisian tersebut kini dalam pemeriksaan internal.
“Kami tetapkan enam anggota menjadi terperiksa,” ujar Hendro dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (3/10).
Perwira bintang satu itu membeberkan inisial enam anggota terperiksa tersebut, yakni DK yang berpangkat perwira. Lainnya, GM, MI, MA, dan H, serta E berpangkat bintara. Keenamnya berasal dari Polda Sultra, dan Kepolisian Resor (Polres) Kendari. Keenamnya, pun teridentifikasi sebagai anggota satuan reserse kriminal dan intai.
Hendro mengatakan, enam anggota kepolisian itu membawa senjata api laras pendek jenis S&W dan HS dengan amunisi tajam saat pengamanan demonstrasi. Menengok dua jenis senjata itu, jamak menggunakan amunisi 9 milimeter (mm). Hendro menegaskan, membawa senjata api dengan amunisi tajam saat pengamanan demonstrasi menjadi fokus utama pemeriksaan Propam.
Satu yang pasti, menurut dia, membawa senjata api dalam pengamanan unjuk rasa merupakan kesalahan fatal. Sebab, Hendro menegaskan, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mewajibkan seluruh personel kepolisian di lokasi unjuk rasa tak menggunakan senjata api dengan amunisi tajam saat pengamanan aksi demonstrasi.
“Ini yang kita dalami kenapa senjata itu dibawa saat pengamanan unras (unjuk rasa). Padahal Kapolri sudah sampaikan untuk tidak bawa senjata,” kata Hendro.
Pengamanan unjuk rasa mahasiswa di Kantor DPRD Kendari, Sultra, Kamis (26/9) menjadi salah satu perlakuan terburuk yang dilakukan aparat kepolisian terhadap para demonstran selama aksi penolakan terhadap RUU KUHP dan revisi UU KPK yang terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Di kota tersebut, seorang mahasiswa semester tujuh dari Universitas Halu Oleo, La Randi yang menjadi salah satu peserta massa aksi, meninggal dunia diterjang peluru tajam ke arah dada dan menembus tubuhnya.
Selain Randi, mahasiswa lainnya yakni Yusuf Qardawi, juga akhirnya meninggal dunia setelah mengalami gegar otak. Unjuk rasa yang memakan korban jiwa itu membuat Kapolri Jenderal Tito Karnavian melakukan pencopotan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sultra, pada Jumat (27/9).
Tito pun menerjunkan tim khusus untuk menyelidiki kasus penembakan tersebut. Tim yang menyertakan divisi propam, forensik, dan balistik sudah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi penembakan Randi.
Hendro melanjutkan, saat tim melakukan investigasi, ada temuan tiga selongsong peluru di depan kantor Dinas Ketenagakerjaan (Disnakertrans) Pemprov Sultra, yang berada di Jalan Abdullah Silondae. Terkait selongsong tersebut, tim gabungan investigasi belum mau membeberkan. Namun, Hendro mengatakan, setelah tim melakukan olah TKP, tim akan melakukan pemberkasan para terperiksa, untuk selanjutnya dilakukan sidang profesi dan etik internal. nasional.republika.co.id